Mohon tunggu...
Sari Novita
Sari Novita Mohon Tunggu... profesional -

"Petiklah Hari dan Jadilah Terang"-\r\n\r\nBlog: www.sarinovitamenulis.wordpress.com dan \r\n www.kapeta.org\r\n\r\n Follow Twitter: @Chalinop & @YayasanKapeta\r\n\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Puisi

"Camkan!"- Puisi 50k

30 Januari 2011   19:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   09:02 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Jangan banyak bicara

Apa? Kamu malah ingin menjerit-tangis?

Hah? Kamu mau memukuli dadamu sendiri?

Padahal kamu sadar tulang-tulangmu telah renta

---

Aku tahu dulu kau termasyur

Siapa yang tidak mengenal dirimu

Kini, orang-orang enggan mengenalmu

Karena kau telah jatuh miskin

Kasihan!

---

Usiamu juga ujur

Wajahmu penuh keriput

Rambutmu memutih semua

Dan kau sendiri

Sendiri saja

Kesepian!

---

Dahulu, jiwamu penuh guyonan

Orang-orang pasti tertawa keras

Mendengarkan lontaran humormu

Humor-humor yang cerdas

Tapi sayang, kini kau bukan lagi penghibur

Bahkan tidak kuasa menghibur diri sendiri

Camkan itu!

---

Apa jadinya sehari-hari sarapan menangis

Tidak siang, tidak pula malam

Kau tidak mampu berbuat apa-apa

Sajian masakanmu terasa hambar

Dimana garam-garam itu kau tenggelamkan?

---

Waktu sudah dekat, saudaraku

Gamelan akan berhenti memainkan irama

Aku ingin lihat aksi topeng Jantuk terbaik darimu

Membawakan pantun-pantun gelak tawa

Karena lensa kamera telah focus menanti

Gambar terbaik darimu

Topeng-topeng, menarilah tuk sekali ini saja

Aku ingin lihat penonton memuja-muja namamu kembali

Dari rekaman terakhir hasil karyamu

Lihat..lihat mereka, mereka sudah tak sabar

Menyaksikan pertunjukan terakhir

Pertunjukan yang terbaik

Jangan pernah kecewakan para penonton

Camkan itu!

Hah? Terheran-heran Yono, akhirnya mampu selesai menuliskan puisi. Puisi kekesalan hatinya. Puisi yang berpundak-pundak mengunungi benak dan jiwanya. Tapi bukan puisi curahan hati, yang dia inginkan. Sekali lagi dia ingin membuat puisi berkualitas sastra. Sedangkan puisi tadi, Bah! Ogah sekali rasanya pembaca mengucapkan kata-kata pujian terhadapnya. Yano tahu benar hal ini. Sekian kalinya dia kecewa. Hidupnya tidak lagi membawa keramaian atau pun gelak tawa. Hidupnya serba berpikir dan banyak pertanyaan.

Kali ini Yono menangis tersedu-sedu. Buat apa pernah menjadi seorang pelawak terkenal, kalau kini hanya rumah sangat-sangat sederhana yang Yono miliki. Keluarga juga tidak kuasa dimilikinya. Kepopulerannyalah yang telah menghancurkan keluarganya. Kecewa, kecewa bertubi-tubi. Kecewa pada sikap dan tingkah lakunya di kala itu. Kecewa karena pandangan istri dan anak-anaknya yang tidak bisa menerima keadaan ekonomi yang turun drastis. Kecewa, semuanya meninggalkan dirinya.

Yono terbatuk dan mengeluarkan tetes darah dari mulutnya. Bukan darah yang pertama, tetapi darah yang entah sudah berapa kali keluar dari dadanya. Siapa yang tidak mau menyembuhkan penyakit dari tubuhnya? Apa daya Yono, dia tidak mampu pergi berobat. Biaya hidupnya saja, dia dapatkan dari sisa-sisa tabungan dan pemberian kawan-kawan sesama pelawak yang masih subur harta kekayaannya. Buat apa dia hidup lama, jika hanya membuat susah orang lain?

“Tuhan, mengapa tidak Kau ambil saja nafasku? Seluruhnya telah Kau ambil semua, keluargaku, namaku, rasa humorku, kejayaanku, harta-hartaku, dan para pengemarku. Ayo Tuhan, sekarang saja Kau musnahkan aku. Aku hanya bersisa bongkahan tulang kering dan daging tipis. Aku rela Kau tarik nyawaku saat ini juga,” lirih Yono penuh getir.

Lagi dada yono terasa sesak. Kian bertambah sesak. Sesak sejadi-jadinya. Di hati kecilnya, dia senang bisa menyelesaikan puisi buatannya. Di hati kecilnya juga, dia ingin dapat menorehkan pantun humor, satu saja. Ya, satu saja untuk menghibur dirinya, namun dia urungkan keinginannya itu. Dia lelah, teramat lelah. Membuat puisi adalah kegemarannya dan sebagai penghibur hatinya di saat kesibukan mencari pundi-pundi. Baginya sekarang telah usai. Ya, usai. Mata Yono mulai sayu dan dia tertidur.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun