Tak lama, Tere datang mencari Minuk. “She’s in her room,” ucap Greg. Tere segera melangkah. Tanpa mengetuk pintu, Tere masuk dan menghampiri Minuk yang pucat, dingin, dan tubuhnya melingkar-lingkar – menahan sakit. Tere segera mempersiapkan sesuatunya. Dia menaikkan rok panjang Minuk. Melingkari paha Minuk dengan “bayangan” beserta musik “Ungu”. Pertunjukkan dimajukan 10 menit. Akhirnya, Minuk berada di balik panggung. Wajahnya segar sekali, tidak seperti beberapa menit lalu. Dia terlihat cantik dan siap memikat seluruh isi ruangan pertunjukkan tari malam itu.
~*~
Perjalanan New York – Jakarta cukup melelahkan Minuk. Minuk ingin sekali segera terlelap di kasur empuknya. Sementara itu, Tere tidak bersama Minuk – sibuk mencari Ungu. Minuk gusar. Tak bisa diam. Berjalan bolak-balik. Sebentar-bentar melirik jam dinding di kamarnya. Sebentar-sebantar menghubungi Tere melalu handphone-nya. Sebentar-bentar mengetuk meja. Ah, lama sekali rasanya “perjumpaan” itu tiba.
Satu jam kemudian, Tere datang dengan wajah penuh senyuman. Minuk membuang nafas panjang. “Mana dia?” Tanya Minuk terburu-buru. “Sabar, dear,” ucap Tere seraya menghadirkan ‘kekasih’ Minuk. Minuk segera memeluk kekasihnya, Ungu. Sang “bayangan” telah menyentuh tubuh Minuk. Tidak sampai lima belas menit, bayangan dan Ungu berbaur gemilang sampai di puncak. Ya, sel-sel darah bergerak cepat , menjelajahi tubuh Minuk. Lembut sekali perjalanannya. Gelombang-gelombang itu secara teratur memenuhi ruang otak, kemudian ke seluruh badan. ‘Kecupan-kecupan’ Ungu menggetarkan Minuk. Membuat Minuk membisu bagai gadis yang pasrah dicumbu ‘seluruh’ oleh kekasihnya. Mereka menyatu di alam penuh keluasaan. Tubuh Minuk terhempas di ranjang. Dia terpejam. Pulas.
~*~
Ayah mengetuk pintu kamar Minuk berkali-kali. Namun tak ada jawaban. Pintu pun terkunci rapat. Ayah mendobrak pintu itu. Dan dia pun gelagapan. Tubuh Minuk kejang-kejang. Busa putih keluar dari mulutnya. Tanpa pikir lama, Ayah mengendong buah hatinya. Minuk. Dengan tergesa-gesa, Ayah tidurkan Minuk di kursi belakang mobil. Ayah tancapkan gas kencang menuju rumah sakit.
~*~
Pandangan mataku kabur. Entah itu abu-abu atau putih. Malah terkadang hitam. Jantungku berdetak cepat. Aku menangis. Ya, menangis sejadi-jadinya. Jangan Tuhan. Jangan sekarang Kau ambil Minuk. Aku bisa mati tanpa dia. Tangisanku semakin kuat. Terdengar di udara ruang emergency. Semestinya tadi aku menjemput Minuk di Airport. Semestinya aku sudah mengusir Tere dari sejak lama. Mengapa aku diamkan masalah ini berlarut-larut. Ah, Ayah macam apa aku ini! Ayah yang tolol! Selalu saja terlambat dan tak berani mengambil tindakan. Tuhan, maafkan aku. Aku amat menyesal. Seharusnya aku temani terus ke mana Minuk pergi. Aku tahu dia juga salah, tapi maafkan dia, Tuhan. Aku mohon, Tuhan.
Ah, aku sesak. Ruangan ini seolah tertutup tanpa udara. Langkahku terhenti. Tapi ruangan ini tak berhenti mengusikku, malah berputar-putar di atas kepala dan menekan dadaku. Aku menunduk, mencari sesuatu yang bisa menahan kestabilan tubuhku. Tuhan, jantungku, Tuhan. Mengapa bergerak tak beraturan. Dan aku pun tergelepar di lantai. Ruangan menjadi gelap. Tak bernyawa. Aku tak berudara! Aku berhenti, Kawan!
~*~
Dua tahun kemudian.