Selayang Pandang Tanah Guntai
Tanah di dalam sertipikat kepemilikan terbagi menjadi 2 (dua) jenis peruntukan, yaitu tanah pekarangan dan tanah pertanian. Tanah pertanian memiliki ketentuan khusus, yang sejatinya tidak banyak khalayak umum mengetahui hal ini, yaitu tidak boleh dipindahkan dengan cara apapun mengenai hak atas tanahnya kepada masyarakat yang berdomisili di luar kecamatan dimana letak tanah itu berada. Larangan ini disebut sebagai larangan kepemilikan tanah secara guntai atau absentee. Pelarangan kepemilikan tanah secara guntai/absentee, didasari oleh fungsi dan manfaat tanah tersebut, dimana dalam Pasal 3D Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian menjelaskan bahwa:
“Dilarang untuk melakukan semua bentuk pemindahan hak baru atas tanah pertanian yang mengakibatkan pemilik tanah yang bersangkutan memiliki bidang tanah di luar Kecamatan di mana ia bertempat tinggal.”
Pasal tersebut berpijak pada Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria disebutkan bahwa:
“Setiap orang dan badan hukum yang mempunyai sesuatu hak atas tanah pertanian pada asasnya diwajibkan mengerjakan atau mengusahakannya sendiri secara aktif, dengan mencegah cara-cara pemerasan.”
Frasa kata aktif dalam pasal di atas, menurut hemat penulis, memiliki makna yang kaku. Meskipun begitu, justru kekakuan itu memberikan kesan bahwa tanah pertanian memang harus diutamakan fungsi dan manfaatnya secara berlanjut dan berkesinambungan. Selain itu, dari sisi program land reform atau agrarian reform yang menerjang asas-asas kolonialisme dan permainan monopoli kepemilikan tanah, pasal tersebut telah sejalan dan memiliki tujuan untuk menghilangkan kepemilikan absenty landlord. Pelarangan kepemilikan secara guntai/absentee yang merupakan imbas dari program land reform yang pada saat itu merupakan tren yang dilakukan oleh negara lain demi untuk menghindari kepemilikan tanah secara monopoli yang dapat merugikan para petani dan buruh tani.
Larangan kepemilikan tanah secara guntai/absentee diatur dalam Pasal 3 ayat 1-3 PP 41 tahun 1964 yang mana berbunyi :
“(1) Pemilik tanah yang bertempat tinggal diluar kecamatan tempat letak tanahnya, dalam jangka waktu 6 bulan wajib mengalihkan hak atas tanahnya kepada orang lain di kecamatan tempat letak tanah itu atau pindak ke kecamatan letak tanah tersebut.
(2) Kewajiban tersebut pada ayat 1 pasal ini tidak berlaku bagi pemilik tanah yang bertempat
tinggal di kecamatan yang berbatasan dengan kecamatan tempat letak tanah, jika jarak antara tempat tinggal pemilik dan tanahnya masih memungkinkan mengerjakan tanah itu secara effisien menurut pertimbangan Panitia Landreform Daerah Tingkat II.
(3) Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut pada ayat 2 pasal ini, maka jika pemilik tanah berpindah tempat atau meninggalkan tempat kediamannya keluar kecamatan tempat letak tanah itu selama 2 tahun berturut-turut, ia wajib memindahkan hak milik atas tanahnya kepada orang lain yang bertempat tinggal di kecamatan itu.”
Memang aturan mengenai larangan kepemilikan tanah secara guntai/absentee tidak secara langsung menyatakan demikian. Aturannya hanya berupa keharusan untuk memindahkan hak atas tanah pertaniannya kepada orang lain yang bertempat tinggal atau berdomisili di tempat tanah itu berada. Senada dengan aturan tersebut, dalam Peraturan Menteri Agraria Nomor 18 Tahun 2016 tentang Pengendalian Penguasaan Tanah Pertanian (PMA No. 18 tahun 2016) menyebutkan bahwa orang yang akan mendapatkan pengalihan tanah pertanian harus satu kecamatan dengan letak tanah.
Kemudian larangan kepemilikan tanah secara guntai/absentee memiliki pengecualian. Tanah pertanian dapat dialihkan hak atas tanahnya kepada orang/pembeli yang berdomisili di luar kecamatan letak tanah itu berada. Seperti pada bunyi Pasal 8 PMA No. 18 tahun 2016 yang menyatakan bahwa ketentuan pelarangan kepemilikan tanah secara guntai/absentee tidak berlaku bagi:
1. pemilik tanah yang bertempat tinggal di kecamatan yang berbatasan langsung dengan kecamatan tempat letak tanah;
2. pemilik tanah yang sedang menjalankan tugas Negara;
3. pemilik tanah yang menunaikan kewajiban agama;
4. pegawai negeri, pejabat militer dan/atau yang dipersamakan dengan mereka;atau
5. ketentuan lain yang ditetapkan oleh menteri.
Kedudukan PPPK
Dari hal-hal yang disebutkan di atas, kita ketahui bahwa pegawai negeri (PNS), pejabat militer dan/atau yang dipersamakan dengan mereka dapat memiliki tanah secara guntai/absentee. Tidak hanya itu, pensiunan PNS dan janda/duda dari PNS dengan ketentuan tidak menikah lagi dengan seorang bukan PNS atau pensiunan PNS. Lalu kemudian, muncul dalam benak penulis mengenai bagaimana dengan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja atau yang sering disebut sebagai PPPK?
PPPK muncul pada tahun 2014 dimana di atur dalam UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara. Aparatur Sipil Negara (ASN) didefinisikan sebagai profesi yang terdiri dari PNS dan P3K. Masyarakat awam sering beranggapan bahwa PPPK merupakan pengganti dari PNS, oleh karena itu memiliki kewenangan, hak, dan tanggung jawab yang sama. Padahal keduanya memiliki perbedaan yang signifikan. Secara definisi, PPPK didefinisikan sebagai warga negara Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, yang mana diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk melaksanakan tugas pemerintah dan menduduki jabatan pemerintahan.”” Sedangkan PNS, didefinisikan sebagai warga negara indonesia yang memenuhi syarat tertetntu, diangkat sebaga Pegawai ASN secara tetap oleh pejabat pembina kepegawaian untuk menduduki jabatan pemerintahan.’’ Dari kedua definisi tersebut, sangat jelas kiranya bahwa PPPK bukan merupakan pegawai ASN tetap, melainkan hanya dengan perjanjian kerja (sistem kontrak), berbeda dengan PNS yang merupakan pegawai ASN tetap.
Dalam praktik
Perluasan PNS menjadi pegawai ASN, dan Pegawai ASN terdiri PNS dan PPPK, kiranya membuat kebingungan bagi khalayak umum. Secara hukum, PPPK bukanlah PNS, keduanya hanya sama-sama pegawai ASN yang memiliki kewajiban yang sama kepada masyarakat. Meskipun begitu, penulis dalam riset penulisan ini menemui adanya pengalihan hak atas tanah pertanian secara guntai/absentee yang dibeli oleh PPPK. Sehingga muncul pertanyaan tentang bagaimana pengawasannya sehingga membuat hal tersebut dapat terjadi?
Dalam kasus tersebut, pengawasan penyelenggaraan land reform yang pertama kali seharusnya adalah merupakan PPAT yang mengurus pengalihan hak atas tanah pertanian tersebut. Kemudian, pengawasan yang kedua adalah dari pihak Badan Pertanahan Nasional di kabupaten tempat tanah itu berada. Sebenarnya, BPN dalam kasus tersebut telah mengetahui bahwa tanah tersebut akan di miliki secara guntai/absentee, sehingga BPN melakukan pengembalian berkas pengurusan. Sayangnya, pengembalian berkas tersebut diberikan embel-embel untuk melengkapi surat pernyataan akan secara aktif mengurus tanah pertanian yang menjadi objek jual beli.
Opini Penulis
Secara hukum, aturan dari larangan kepemilikan tanah secara guntai/absentee tersebut sudah jelas. Tujuannya, adalah untuk meningkatkan kesejahteraan petani/buruh tani dan agar sejalan dengan agrarian reform atau land reform. Namun demikian, dalam kasus di atas dalam pelaksanaannya masih terdapat penyelundupan hukum. Perbedaan PPPK dan PNS hanya sebatas pegawai ASN tetap dan kontrak. Sehingga, sulit untuk menelaah kedudukannya di mata hukum seperti apa. Jika memang kedudukan daripada PPPK dan PNS adalah sama, apakah dapat dikategorikan sebagai salah satu pengecualian kepemilikan tanah secara guntai/absentee?
Menurut Penulis, seharusnya PPPK tidak memiliki hak untuk itu karena memang PPPK bukan lah PNS. PPPK merupakan pegawai ASN dengan sistem kontrak kerja, hal ini berarti bahwa PPPK dapat diputus kontraknya kapan saja atau juga dapat untuk tidak memperpanjang kontraknya kapan saja, karena masa kontrak kerja PPPK adalah selama 5 (lima) tahun. Jika seorang PPPK memiliki tanah secara guntai/absentee, maka dapat timbul masalah seperti dalam hal PPPK tidak memperpanjang kontraknya, maka tentunya kepemilikan tanah tersebut akan melanggar UU Pokok Agraria, sehingga harus dialihkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan pelaksana UU Pokok Agraria.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H