Pendidikan pada dasarnya adalah sebuah sistem yang bertujuan untuk memberikan pengajaran/didikan bagi masyarakat. Berlandaskan UU SISDIKNAS Nomor 20 Tahun 2003 BAB 1, menyatakan bahwa pendidikan merupakan upaya sistematis untuk melahirkan situasi belajar dan aktivitas pembelajaran yang kondusif sehingga siswa bisa dengan leluasa memaksimalkan potensinya di bidang apapun mulai dari kecerdasan, akhlak, pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan dirinya dan masyarakat. Oleh karena itu pendidikan merupakan suatu kebutuhan dasar yang sangat diperlukan demi memajukan dan mencerdaskan bangsa, serta untuk menghasilkan sumber daya manusia yang unggul dalam berbagai aspek kehidupan.
Selain sebagai sumber ilmu dan pengembangan diri, sekolah kini juga menjadi  salah satu sistem kelas di masyarakat, di mana semakin tinggi tingkat pendidikan atau semakin bermutu sekolah yang ditempuh maka semakin tinggi pula derajat mereka di masyarakat. Jadi tak heran apabila banyak orang yang berlomba-lomba untuk masuk ke sekolah maupun universitas yang di anggapnya paling "top". Keinginan untuk masuk ke sekolah atau universitas "top" ini dikarenakan mereka ingin mengejar gengsi. Berusaha untuk mendapatkan pendidikan dengan kualitas terbaik sebenarnya adalah suatu hal yang positif, namun akhir-akhir ini banyak orang yang hanya berusaha mendapatkan pendidikan tersebut hanya untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat, mereka juga mulai menghalalkan segala upaya demi menggapai tujuannya. Pola pikir dan pandangan seperti inilah yang merusak hakikat pendidikan yang sebenarnya, karena pendidikan itu sendiri berfondasikan kejujuran dan bertujuan untuk mendapatkan ilmu bukannya gengsi.
Kecurangan akademik adalah sebuah tindakan atau perilaku yang tidak etis dalam proses belajar karena bertentangan terhadap nilai-nilai kejujuran. Pengertian ini didukung oleh pendapat dari McCabe dan Trevino (1993), kecurangan akademik adalah sebuah perilaku kompleks yang menyalahi kode etik nilai-nilai kejujuran dalam proses belajar dan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor. Karena begitu banyak dan seringnya perilaku kecurangan dalam sistem pendidikan ini masyarakat mulai menganggap bahwa perilaku tersebut dapat dimaklumi dan ditoleransi, bahkan ada yang beranggapan bahwa menggunakan "uang" atau "ordal" untuk masuk ke universitas top adalah hal yang wajar karena mereka memang mempunyai kelebihan untuk digunakan. Pemakluman dari masyarakat ini juga didukung dengan anggapan mereka bahwa dengan semakin banyaknya orang yang masuk ke universitas "top" maka akan semakin banyaknya generasi unggul yang dapat memajukan bangsa.
Banyaknya pihak yang tidak keberatan dan mempermasalahkan dengan "kecurangan" ini sontak mengundang kontra dari sisi lain. Pihak yang tidak setuju dengan tindakan kecurangan ini juga menyatakan opini mereka bahwa saat ini sistem pendidikan sedang berada dalam keterpurukan, karena rusaknya hakikat pendidikan yang sebenarnya mengajarkan tentang nilai kejujuran pula. Mereka menyatakan bahwa perilaku menggunakan "uang" atau yang biasa disebut "menyogok" untuk masuk ke sekolah atau universitas dengan cara yang ilegal sebenarnya telah menghilangkan stabilitas dan harmoni dalam sistem sekolah. Alina Mungiu-Pippidi, seorang peneliti dalam studi korupsi dan tata kelola, menyoroti bahwa menyogok dalam proses pendaftaran sekolah menciptakan siklus ketidakpercayaan dan memperkuat ketimpangan sosial. Menurutnya, ketika masyarakat melihat bahwa akses ke pendidikan dapat dibeli, hal ini dapat merusak kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan dan melemahkan peran pendidikan sebagai alat mobilitas sosial. Â
Di Indonesia sendiri masalah lain yang muncul ialah, fenomena permainan "Bangku Kosong" yang makin terang-terangan terlihat dalam sekolah. Fenomena ini ialah sebuah permainan dari pihak sekolah kepada orang tua murid, yang bertujuan agar sang anak tetap bisa masuk di sekolah impiannya, walaupun menurut PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) sang anak sudah dinyatakan tidak lolos. Pada tahun 2020 sendiri, di Pulau Seribu terdapat kursi kosong di tingkat SMP dengan jumlah 622 kursi, pada jenjang SMA berjumlah 225, serta SMK berjumlah 245 kursi. Kecurangan dalam akses pendidikan ini  juga telah tercantum dalam undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Undang-undang ini menekankan pentingnya integritas dan kejujuran dalam proses pendidikan. selain itu, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 66 Tahun 2015 tentang Manajemen Risiko di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga mengatur tentang risiko kecurangan dalam pendidikan1. Peraturan ini mengharuskan setiap satuan kerja di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk menerapkan dan mengembangkan manajemen risiko, termasuk risiko kecurangan.
Peraturan mengenai Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di Indonesia diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1 Tahun 2021. Peraturan ini mencakup berbagai aspek pelaksanaan PPDB, termasuk mekanisme pendaftaran, jalur penerimaan, dan kuota yang harus dipenuhi oleh sekolah. Salah satu poin penting dalam peraturan ini adalah larangan keras terhadap praktik jual beli kursi atau pungutan liar dalam proses PPDB. Pemerintah menekankan bahwa penerimaan siswa harus dilakukan secara transparan dan adil, tanpa adanya diskriminasi atau penyalahgunaan wewenang. Keinginan untuk mendapatkan pendidikan dengan kualitas terbaik adalah suatu  hal yang positif, namun keinginan tersebut harus dilakukan dengan cara yang sehat yang itu mengembangkan diri, baik dengan belajar mandiri atau mengikuti les tambahan.
Melakukan tindakan curang hanya untuk masuk ke sekolah atau universitas tidak akan membawa pengaruh positif bagi diri sendiri dan hanya akan merugikan orang lain yang di anggap lebih layak. Karena dengan melakukan tindak kecurangan kita tidak hanya berbohong kepada orang lain tapi  juga membohongi diri kita sendiri, di mana tindakan ini akan menurunkan daya saing dan juga kompetensi pada diri yang sesungguhnya. Dan sebab itu hendaknya kita selalu bersikap jujur dan menerima semua hasil yang didapatkan dengan lapang dada dan tidak berkecil hati. Karena sesungguhnya kita akan lebih berkembang apabila kita mau mengembangkan diri dan berusaha mencari di mana letak kekurangan kita, dan bukannya melegalkan segala cara untuk berhasil. Dalam pendidikan, kegagalan atau keberhasilan yang kita dapatkan tidak menjadi penilaian utama melainkan proses yang kita tempuh selama inilah yang menjadi tolak ukur. Oleh karena itu, marilah kita menjadikan pendidikan sebagai  ruang yang adil, tempat di mana potensi dan pengembangan diri menjadi ukuran utama, bukannya kecurangan.
Kecurangan dalam pendidikan adalah masalah serius yang dapat merusak integritas dan kualitas sistem pendidikan kita. Untuk menciptakan pendidikan yang adil dan mengatasi kecurangan, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, sekolah, guru, siswa, dan masyarakat. Pendidikan inklusif yang memberikan kesempatan yang sama bagi semua siswa, tanpa memandang latar belakang, kemampuan, atau perbedaan lainnya, adalah langkah awal yang penting. Selain itu, memastikan akses pendidikan yang merata bagi semua anak, termasuk mereka yang berada di daerah terpencil atau memiliki kebutuhan khusus. Pengembangan kurikulum yang relate dengan kebutuhan pasar kerja dan perkembangan zaman, serta peningkatan infrastruktur pendidikan seperti fasilitas belajar, alat-alat belajar, dan ruang kelas yang nyaman dan aman, juga merupakan langkah penting untuk menciptakan pendidikan yang adil.
Untuk mengatasi kecurangan dalam pendidikan, penegakan aturan yang ketat dan adil sangat diperlukan. Pendidikan karakter yang mengintegrasikan nilai-nilai kejujuran dan tanggung jawab dalam kurikulum dapat membantu membentuk siswa yang berintegritas. Pengawasan yang efektif dalam proses pembelajaran dan evaluasi juga penting untuk mendeteksi dan mencegah kecurangan. Selain itu, pelatihan guru untuk mengenali dan menangani kecurangan serta mendidik siswa tentang pentingnya integritas adalah langkah yang tidak kalah penting. Dengan langkah-langkah ini, kita dapat menciptakan sistem pendidikan yang lebih adil dan berkualitas, serta mengurangi kecurangan yang merugikan semua pihak. Pendidikan yang adil adalah kunci untuk menciptakan generasi yang berintegritas dan siap menghadapi tantangan masa depan.
(Celine Susanto, Siswi Kelas 9A SMP Santa Angela Atambua)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H