Lebaran, istilah yang hanya ada di negeri kita tercinta, hasil dari penyerapan bahasa yang hingga saat ini saya menulis artikel ini, masih belum pasti asalnya darimana. Tetangga saya yang berasal dari Jawa Tengah, sempat menjelaskan versi orang-orang Jawa tentang arti dari Lebaran. Dalam paparannya, beliau bilang kata "Lebaran" itu berasal dari kata "wis bar" yang artinya sudah bubar / sudah selesai, jadi jika saya merujuk pada penjelasan beliau (meskipun ini belum bisa dikatakan valid) maka arti dari Lebaran adalah Sudah Selesai atau Sudah Berakhir.
"Adanya akhiran "an" di belakang kata "Lebar" dalam bahasa Jawa berarti menandakan bahwa hal itu dilakukan secara majemuk atau berjamaah", ujar tetangga saya tersebut yang berprofesi sebagai seorang ustadz. Okelah, untuk sementara saya terima itu sampai batas itu dulu. Tapi bukan itu substansi yang ingin saya sampaikan dalam artikel ini.
Lebaran, sebagai sebuah frase yang menggambarkan Idul Fitri, dirayakan dengan gegap gempita di seluruh dunia, khususnya di negeri kita tercinta. Hari itu menandakan berakhirnya "Jihad" ummat Islam yang beriman dalam melawan hawa nafsunya sebulan penuh, dari tanggal 1 Ramadhan hingga akhir Ramadhan, atau ketika sudah jatuh bulan baru yakni dari Ramadhan ke Syawal, dan 'Idul Fitri adalah Hari penentuan itu.
Selayaknya kegembiraan seluruh ummat Islam diseluruh dunia merayakan hari tersebut, kita di Indonesia masih berkutat pada perbedaan jatuhnya 1 Syawal atau Idul Fitri. Bertahun-tahun hal ini menjadi budaya di negeri kita. Kelompok-kelompok Islam di negeri ini bersepakat sesuai dengan perhitungannya masing-masing, sehingga masalah serempak atau tidak, bukan menjadi masalah bagi mereka. Atau "nurut" dengan pemerintah, tidak menjadi kemestian bagi saudara-saudara kita tersebut (tanpa saya mendiskreditkan saudara-saudaraku yang dirahmati Allah tersebut atau taqlid kepada pemerintah).
Namun apakah kita ingin terus seperti ini? Tenggelam dalam perbedaan fiqrah masing-masing? Bukankah Islam itu hanya satu? Qur'an pun satu? Muhammad s.a.w pun cuma satu? Lantas, mengapa hari ini kita saksikan Islam begitu banyak dan terkotak-an satu sama lain dengan perbedaan yang ada? Apakah begitu sulit menyatukan ummat ini?
Ketika saya masih menimba ilmu di Pesantren, salah satu binaan saya di TPA dengan polosnya berkata,"Kak Bani, kok teman saya ada yang udah Lebaran besok sih ka? Kan besoknya lagi harusnya ya kak? Berarti dia batal dong puasanya kak?". Saya hanya menjawab, "Nggak kok, puasa Ramadhannya tetap sempurna, cuma orangtua-nya ikut yang Lebarannya besok, kalau kamu kan lusa, gak jadi masalah juga.", dan setelah itu binaan saya yang baru kelas 5 SD itu menghujani saya dengan pertanyaan seputar asal muasal perbedaan Lebaran tersebut.
Saya rindu sekali momen dimana saudara-saudara kita dari harokah-harokah Islam, berdiri bersama, takbir bersama, rukuk bersama, sujud bersama, berdoa bersama, mendengarkan khutbah bersama, bermusafahah bersama, dalam momen Idul Fitri yang satu, yang serentak, bukan yang berlainan. Apakah begitu sulit para Mubaligh dari harokah-harokah tersebut untuk berembug bersama, syura bersama, menundukan "tebengan-tebengan politik atau sentimen" yang ada kemudian bersama menentukan Idul Fitri yang serentak, 1 Syawal yang serentak, dari ujung barat Indonesia hingga ujung timur Indonesia. Begitu sulitkah?
Kalau untuk mempersatukan hal ini saja kita tidak bisa, bagaimana mungkin kita memimpikan Kejayaan Islam tegak di muka bumi lagi?
*Curhatan Cinta seorang saudara kepada saudara semuslim di seluruh Indonesia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H