JLA Brandes, seorang filolog sekaligus arkeolog berkebangsaan Belanda, mengatakan, jauh sebelum ada kata Indonesia, nusantara sudah mengenal 10 unsur kebudayaan, salah satunya adalah membatik. Pendapat Brandes tersebut kemudian diperkuat dengan ditemukannya panel sebuah motif pada Candi Prambanan dan Borobudur. Motif pada dua candi tersebut diyakini oleh peneliti sejarah merupakan motif batik. Jika merunut pada penemuan tersebut, kebudayaan batik sudah ada di nusantara sekitar abad ke-8.
Berbeda dengan negara lain, seperti Timur Tengah dan India, Indonesia memiliki istilah sendiri untuk menjelaskan kebudayaan mewarnai pakaian, yaitu batik. Secara etimologi, kata "batik" berasal dari bahasa Jawa, yaitu "ngembat" dan "titik" yang secara harfiah dapat diartikan membuat titik (membuat gambar). Berdasarkan perkembangannya, kegiatan membatik bisa dilakukan dalam dua cara, yaitu batik tulis dan batik cap.
Jauh sebelum ditemukannya tehnologi batik cap, kegiatan membatik hanya dilakukan oleh perempuan. Kegiatan membatik dilakukan untuk mencari penghasilan tambahan, sambil berupaya untuk mempertahankan kebudayaan yang dianggap memiliki nilai adiluhung tersebut. Serat Centhini juga menggambarkan cara perempuan Jawa membatik dengan menuliskannya menggunakan canting, yang hingga kini dikenal dengan istilah batik tulis.
Tehnik batik tulis memiliki beberapa tahapan. Tahapan membuat batik tulis dimulai dengan membuat pola di atas kain yang akan dibatik. Pola yang sudah terbentuk tersebut kemudian ditulis dengan menggunakan canting. Tahap ini disebut dengan klowongan. Setelah pola batik berubah menjadi klowongan, pola tersebut lalu diarsir. Tahap ini disebut dengan isen-isen. Setelahnya, diisi warna penuh, yang dinamakan tahap nembok. Kain yang sudah dibatik tersebut lalu direndam untuk memberi kesan warna sesuai yang diinginkan.
Dahulu, proses pewarnaan batik masih menggunakan bahan-bahan alami yang bersumber dari daun, batang, hingga akar-akaran dari berbagai jenis tanaman, seperti pohon nila, pohon soga tingi, kayu tegeran, kunyit, kesemumba, dan akar mengkudu. Seiring berjalannya waktu, proses pewarnaan batik ada juga yang menggunakan pewarna kimia. Meski demikian, banyak sentra industri batik yang masih menggunakan pewarna alami untuk menjaga kualitas kain batik yang dihasilkan.
Perkembangan industri batik di Indonesia yang sangat pesat secara tidak langsung juga semakin memperkaya motif batik nusantara. Meski harus bersaing dengan batik-batik impor yang harganya lebih murah, batik nusantara masih memiliki penggemar setianya. Motif batik nusantara tidak hanya kaya dalam segi jumlah, tapi juga kaya akan makna filosofis yang melingkupinya. Tidak salah jika UNESCO pada 2 Oktober 1999 menetapkan batik nusantara sebagai warisan budaya Indonesia untuk dunia. [AhmadIbo/IndonesiaKaya]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H