Mohon tunggu...
Salma Aulia
Salma Aulia Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Program Studi Jurnalistik Universitas Padjadjaran

"Work hard in silence. Success be your noise"

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Meneropong Prospek Pengganti Kopi Luwak

2 Januari 2023   15:12 Diperbarui: 4 Januari 2023   05:34 681
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi biji kopi (SHUTTERSTOCK/JCOMP)

 

Industri kopi luwak di Indonesia tak perlu diragukan kembali telah memainkan peran penting dalam perekonomian Indonesia, khususnya bagi devisa negara. Kopi telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan semenjak zaman dahulu dan kepopulerannya tak memudar hingga saat ini, khususnya bagi para pecinta kopi.

Banyak jenis kopi yang dihasilkan dari Indonesia, salah satunya adalah kopi Luwak. Kopi Luwak mulai meningkat kepopulerannya hingga ke negara-negara barat ketika Kopi luwak dibawa kembali ke Inggris pada tahun 1991 oleh Tony Wild hingga membuat kehebohan kembali setelah kemunculan kopi luwak di acara The Oprah Winfrey Show di tahun 2003 dan di film The Bucket List tahun 2007, dimana dalam salah satu adegan film tersebut terdapat Jack Nicholson dan Morgan Freeman sedang berdialog sembari menyeduh kopi Luwak. Sejak saat itulah demand kopi luwak meroket.

Kopi Luwak merupakan kopi yang dihasilkan dari fermentasi sistem pencernaan luwak dan hal ini dianggap unik oleh kebanyakan orang, terlebih orang asing. Harganya pun terbilang cukup tinggi, yaitu sebesar 160 USD per pound (450 gram). Mahalnya harga kopi Luwak tersebut menjadikannya sebagai salah satu kopi termahal di dunia. Tetapi dibalik citranya yang baik tersebut, setelah diselidiki lebih lanjut, proses dibalik pembuatan kopi Luwak itu banyak terjadi penipuan, penganiayaan dan penelantaran terhadap luwak yang diternak oleh para produsen kopi luwak.

Kopi Luwak bukanlah kopi yang layak untuk dicoba, dikarenakan alasan ekonomi yang tidak masuk akal, meminum kopi Luwak sama dengan mendukung penyiksaan yang dilakukan kepada luwak di seluruh dunia. Maka dari itu kita perlu menilik lebih dalam lagi dan meneropong apakah ada solusi lainnya yang dapat menjadi alternatif meminum kopi jenis lainnya. Salah satunya adalah kopi Binturong. 

Selain kopi Luwak, para peminat kopi Binturong kini semakin meningkat, bahkan memiliki respon yang positif dari penikmat maupun pelaku usaha kopi internasional. Hal tersebut dapat dilihat dari keantusiasan delegasi G20 dalam Meeting of Agricultural Chief Scientists (MACS 2022) yang dilaksanakan di Bali bulan November lalu.

Tedy Dirhamsyah, Kepala Balai Tanaman Industri dan Penyegar (Balittri) Kementerian Pertanian, ia menyatakan bahwa dalam acara MCAS 2022 tersebut para delegasi anggota G20 memberikan apresiasi dan tanggapan positif terhadap salah satu inovasi yang dicanangkan oleh Balittri tersebut saat mengunjungi kafe dengan menu yang disajikan Kopi Binturong. Tedy mengungkapkan bahwa inovasi kopi Binturong ini memiliki potensi ekonomi yang sangat besar tentunya dengan kualitas dan cita rasa khas yang tinggi. 

Pembuktian dari hal tersebut ada pada hasil uji tes sensori yang cukup tinggi, yakni sebesar 87,25 poin. Jika didasarkan pada penilaian yang dilakukan oleh Specialty Coffee Association of America (SCAA), jika hasil akhir uji tes sensori berada di atas angka 80 dari skala 100, maka kopi tersebut dinilai sebagai kopi specialty. Dalam uji tes sensori yang dilakukan, tujuannya adalah untuk menguji kualitas dan mutu kopi yang dinilai dari berbagai atributnya, seperti acidity, flavor, uniformity, weetness, body, aftertaste, balance, clean cup, dan overall.

Dari segi rasa, kopi Binturong tidak perlu diragukan kembali, karena berasal dari hasil kekuatan teknologi fermentasi identik dengan kopi yang diolah dengan proses fermentasi pencernaan Binturong secara langsung, menurut  Peneliti Balittri, Nendyo Adhi Wibowo. Sama seperti luwak, fermentasi binturong juga melibatkan berbagai enzim pencernaan yang nantinya akan dikeluarkan bersama kotoran dalam bentuk biji kopi yang terbungkus kulit tanduk.

Fermentasi alami yang dilakukan oleh Binturong sama dengan Luwak. Menurut Pudji Raharjo dalam bukunya Kopi; Panduan Budidaya & Pengolahan Kopi Arabika dan Robusta, fermentasi melibatkan berbagai enzim pencernaan dan dikeluarkan bersama kotoran luwak dalam bentuk biji kopi yang masih terbungkus oleh kulit tanduk. 

Nantinya senyawa kimia yang ada dalam biji kopi akan menjadi berpori-pori dan rapuh akibat pengaruh dari penetrasi asam lambung serta enzim-enzim pencernaan ketika proses fermentasi dilakukan. Rasa kopinya pun akan dipengaruhi oleh fermentasi alami asam laktat yang terjadi dalam usus. Prosesnya berkisar antara 12-18 jam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun