Mohon tunggu...
Slawi Dalbo
Slawi Dalbo Mohon Tunggu... -

Wes pokoke cuman orang biasa yang blajar nulis asal tur ngawur. Kalo bisa yok mbok jangan dikritik 2 hehehe. Soale udah tau tulisanku kui pasti elek. Gimana ndak jelek.. ha wong Dalbo kan anak gendruwo, mana bisa nulis bagus hehehehe

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Yang Bebas Yang Terbelenggu (Paradoks Kebebasan)

19 April 2011   15:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:38 434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagi manusiakebebasan merupakanhal yang sangat penting.Orang sering menyebut kebebasan sebagai hal mendasar atau nilai hebat yang patut dijunjung tinggi, kendati ada begitu banyak arti tentang kebebasan sendiri. Salah satu diantarasekian banyak ragam adalah seperti yang jelaskan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).KBBI menyebut kebebasan dengan” lepas sama sekali (tidak terhalang, terganggu, dsb sehingga dapat bergerak, berbicara, berbuat, dsb dng leluasa)”.Artinya kebebasan adalah ketidakterikatan diri (internal) oleh hal di luar diri (eksternal).

Karena itulah pada dasarnya diri manusia itu bebas – ketidakbebasan hanya karena ketidaksadaran orang terhadap kebebasan dengan menaklukkan diri pada sistem diluar diri (eksternal).Padahal, merujuk pada artian KBBI, jika manusiabebas maka akan sangat mungkin dapat merealisasi dan mengaktualisasikandirinya (internal) secara penuh dengan bergerak, berbicara dan berbuat dengan leluasa.

Jika demikian, pertanyaannya adalah, apakah semua hal diluar diri manusia itu mengikat? Bagaimana dengan nilai-nilai moral, agama dengan segala norma, nilai dan tuntunan-tuntunannya, juga masuk dalam daftar yang mengikat tadi?Jika ya,.. pastilah sistem ketuhanan, konsep dosa dan implikasinya juga terdaftar dalam hal eksternal yang mengikat.

Tidak sedikit orang menyangka bahwa keterlepasan diri dari sistem ketuhanan dan dosa akan membuat orang merasa lebih bebas – setidaknya bebas dari kondisi negatif terus menerus dipaksa mengaku salah.Orang juga menyangka bahwa dengan keterlepasan dari sistem ketuhanan dan dosa – termasuk konsep dosa keturunan dalam kristen, maka tidak ada aturan yang mengikatnya – karena itu tidak dapat disebut dosa.

Tak heran jika dalam kristen muncul “The Death Of God Theology” atau DOG Theology. Konsep “allah mati” milik Nietzche ini bangkit kembali di tahun 1960-an, mengusung kebebasan manusiajika terlepas dari Allah.Dengan bebas dari Allah, maka segala hal tergantung dari keputusan pribadi manusia sendiri.Teologi ini menyebut arti hidup manusia itu terletak pada keputusan pribadinya dan bukan disebabkan masuknya Tuhan diantara manusia atau pertemuan Allah dengan manusia.

Menurut DOG Theology, orang disebut bebas jika ia dapat berbuat sesuatu sesuka hatinya.Di sini “bebas dimengerti sebagai terlepas dari segala kewajiban dan keterikatan.“Bebas” jika tindakannya tidak dipengaruhi atau intervensi atau ditentukan oleh hal diluar diri – termasuk Allah. Manusia yang bebas adalah manusia yang memiliki dan memilih sendiri perbuatan-perbuatannya. Kebebasan adalah kondisi tiadanya paksaan pada aktivitas saya.Jika orang ingin bebas, maka ia harus terlepas dari konsep ke-allahan

Kebebasan seperti ini oleh K Bertens, dosen bidang etika, dianggap tidak ada bedanya dengan kesewenang-wenangan.Kebebasan dalam arti ini dilihat sebagi izinatau kesempatan untuk berbuat semaunya.Disebut kesewenang-wenangan karena bebas berarti terlepas dari kaidah, dan segala peraturan.Karena itulah menurutnya kesewenang-wenangan tidak pantas disebut kebebasan.Karena kebebasan pada dasarnya tidak bertentangan dengan keterikatan.

Orang menyangka dengan keluar dari sebuah sistem maka berarti bebas.Padahal dengan melepaskan diri dari sistem satu, otomatis dia sudah terikat dalam sistem yang lain (sitem diri). Pada titik tertentu orang mungkin beranggapan bahwa sistem diri adalah bagian aktualisasi atau ekspresi kebebasannya, karena itu tidak bisa dipandang sebagai sebuah keterikatan.   Jika yang dimaksud kebebasan adalah keluar dari sitem, maka sistem diri seharusnya dianggap sebagai sebuah keterikatan.  Orang tidak mungkin terlepas dari sistem.  Bahkan proses bernafas sekalipun, atau jalannya setiap fungsi organ dalam diri manusia adalah sebuah keteraturan, sebuah sistem juga - yang bagi kalangan Theis dianggap sebagai providensia (pemeliharaan)  Tuhan.

Mungkin orang merasa bebas dengan keluar dari sistem dosa dan ketuhanan, tapi bukankah potensi diri dalam hati nurani masih membatasi dia, menuduh, berbicara padanya tentang kesewenang-wenangan tindakannya?Jika hati nurani masih membatasi apakah ini masih dapat disebut bebas, dalam artian sebebas-bebasnya? Belum lagi jika hal ini ditilik dari sudut teologis – dengan keluarnya orang dalam sistem ketuhanan dan dosa; dengan menafikan keberadaan dosa; maka sadar atau tidak,dia sudah mengikatkan diri pada jeratan kuasa dosa. Karena itulah jika orangmenginginkan kebebasan, maka ia harus berani terikat, sebab kebebasan orang terletak pada keterikatan pada yang mengikat.Slawi/dleming-dw

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun