"teklak tekluk teklak tekluk" itu bukan suara sepatu kuda, melainkan suara lutut kiri yang bergesekan antar tulang rawan dan urat yang tidak pada tempatnya. 2/12/2012 Saya angkat kaki di kilometer ke 8 jalan raya tuntang, tidak sanggup berlari lagi karena sepasang lutut berumur 1/4 abad ini tak kuat lagi menopang hentakan 60 kilo berat badan. Ekspedisi mengelilingi rawa pening akhirnya saya lanjutkan dengan jalan santai menyusuri rel kereta api yang sudah lama tidak terpakai (melihat dari karat dan rumput yang menutupi badan rel).
100% saya sadar, lutut kiri persendiannya tidak beres semenjak lari 5.6KM hari sabtu. Salah urat, kalo bahasa jawanya "kecetit", namun saya paksakan berlari dan tumbang dengan sukses di polres tuntang. Sepertinya Dewi fortuna belum mandi pagi ini, hingga keberuntungan menjauh dari saya. Kaki sudah tidak bisa diajak lari, ditambah dengan langit yang nampak muram membuat deretan gunung merbabu, merapi, telomoyo, perbukitan yang mengelilingi rawa pening, dan rawa pening hilang diselimuti kabut, jarak pandang pun berkisar antara 500 meter saja. Ada yang menarik di sepanjang rel, ternyata saya #barutahu kalau sungai tuntang begitu ramai, banyak gubuk berbentuk rumah panggung sebagai tempat parkir motor para pemancing, pengumpul pupuk mengais lumpur berwarna hitam dari dasar sungai tuntang, Wanita setengah tua menjemur padi dan batang enceng gondok di atas terpal, dan ada juga anjing yang menggeram sok galak menggertak pelari kurang kerjaan seperti saya.
Depo Lokomotif Abarawa
Sampai di Depo Kereta Api Abawara, tepat pada kilometer 16, saya menyerah terpincang di aspal. Kami istirahat cukup lama di Ambarawa, mengisi BBM di warung soto, mengambil foto bangkai lokomotif dan apapun yang sekiranya menarik untuk diabadikan dalam frame sebagai buah tangan selama palarian.
kebanyakan angkutan trayekambarawa - salatiga, tidak ada kernetnya "KALIAN GILA YA?" Dhave dan yafeth melanjutkan 20KM berikutnya menuju Salatiga melewati bukit cinta dan Pemandian alam Muncul dengan jalanan yang berkelok dan  naik turun. Saya hanya dadah dadah dari dalam angkot, duduk manis disebelah supir yang keheranan. "2 orang itu temennya mas?" "iya pak, lari mengelilingi rawa pening" "wong edyann, kaya gak ada kerjaan aja, lari lari di siang bolong gini!" "bhahaha iya pak, orang gila semua itu, lari 20KM lebih masih bisa ketawa dan meringis" (dilempar sepatu) Saya turun dari angkutan umum, persis di depan kost tempat kami memulai pelarian tadi pagi. Sampai di pintu kost saya langsung terkapar pasrah, mendinginkan kaki dan mengeringkan keringat di atas lantai. Pengen tidur tapi tidak bisa memejamkan mata, gelisah sekaligus menahan tawa membayangkan wajah 2 teman saya yang masih keringatan berlari di jalan sambil diteriaki "orang gila".
Akhirnya mereka finish dengan utuh dan keringat berceceran, total 33.5 kilometer dari
UKSW (salatiga) - tuntang - rel kereta api - Ambarawa - Banyubiru - Salatiga. Sedangkan hutang saya yang 20 kilometer karena naik angkot, saya bayar lunas dengan meringis kesakitan di atas kasur, diplintir oleh tukang urut urat dan tulang patah sore harinya. Salam olahraga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Sosbud Selengkapnya