Intel dan tentara bermain di pemilu bukan lah barang baru. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pergerakan mereka lah yang menjadi penyumbang terbesar kemenangan Demokrat dan SBY dalam pemilu lalu. Bukan karena pencitraan (yang dicitrakan seolah-olah karena pencitraan). Peran konsultan politik macam Fox ketika itu tak lebih dan tak kurang adalah untuk menutupi operasi para intel dan tentara. Beberapa media besar, termasuk Kompas dan Tempo sejatinya pernah mencoba menguak peran mereka, tetapi entah kenapa liputannya tidak mendalam (sangat tidak khas Kompas atau Tempo), dan tidak berlanjut.
Pada banyak pemilukada pun mereka juga bermain, umumnya tidak secara institusional. Tetapi oleh kelompok-kelompok, oleh sel-sel yang luar biasa banyaknya di dunia intel kita. Walau begitu ada semacam kode etik diantara mereka untuk “setor ke atas” walau bisa saja terjadi pertarungan antar kelompok intel yang disewa oleh kubu yang berbeda di lapangan.
Operasi intelijen pada pemilukada Tangsel sudah berlangsung lama. Tetapi memang langkah khas “jaman SBY” mulai sangat terlihat pada sepuluh hari terakhir menjelang pencoblosan. Operasi ini bertujuan untuk menggunting dukungan terhadap Airin di bawah. Itu pula yang konon menyebabkan pihak kodim dan kepolisian bersikap netral begitu diberi tahu adanya operasi intelijen ini. Umumnya tentara (ataupun mantan tentara) memang akan tetap “permisi” pada satuan resmi yang ada ketika mereka akan melakukan aktivitas di sebuah wilayah. Apalagi para intel tersebut sebelumnya sudah pernah beroperasi ketika menggunting jaringan jawara kelompok Rawu di pemilihan bupati Tangerang sebelumnya.
Kehadiran operasi intelijen untuk mendukung Arsjid di Tangsel ini muncul karena dua kondisi yang saling mendukung. Kondisi pertama adalah karena adanya dukungan beberapa kelompok militer maupun mantan tentara dalam menggulingkan Dinasti Chasan Sochib. Seperti terungkap dalam tulisan sebelumnya (lihat: “Pilkada Tangsel: Pertarungan antar Jawara”), pemodal kuat Arsjid adalah Suryo Guritno, seorang pedagang senjata yang menjadi makelar besar TNI untuk persenjataan asal Rusia. Dari pengusaha yang akrab dipanggil Pak Yoyok ini lah intel mulai dilibatkan. Yoyok memang memodali pasukan intel yang sama ketika memenangkan SBY dan demokrat pada Pemilu lalu. Imbalannya adalah monopoli dia untuk memasukkan Sukhoi ke Indonesia.
Kondisi kedua yang mendukung adalah gagalnya Iskandar muncul sebagai kandidat walikota. Iskandar adalah adik Hatta Rajasa. Ketika Iskandar gagal mendapatkan dukungan partai (karena sudah “dibeli” oleh Kelompok Rawu), Hatta mengutus Choel Malarangeng dari Fox untuk menekan Wawan, anak sulung Chasan Sochib yang disebut-sebut sebagai pemimpin lapangan Kelompok Rawu. Choel ketika itu mengatakan bahwa mereka sanggup mengguyur duit lebih banyak dari pada Rawu. Namun Wawan tidak peduli karena Iskandar maunya menjadi Tangsel-1, sementara mandat keluarga ia harus menjadikan istrinya, Airin, menjadi Tangsel-1. Mungkin Wawan lupa bahwa SBY dulu menang bukan sekedar karena pasokan duitnya banyak, tetapi juga karena operasi intelijen tentara. Dan Choel serta Fox ada di pusaran itu.
Seperti halnya pada pemilu lalu, operasi intelijen sudah dimulai dengan menggembosi kampanye Airin. Berbagai blunder klasik seperti himbauan birokrat (lurah/camat/pejabat pemda lainnya) untuk memilih Airin disampaikan terbuka di forum resmi. Bahkan ada surat pembentukan Airin Fans Club yang ditandatangani pejabat pemda. Sebuah blunder buatan yang kasat mata. Repotnya pula kubu Airin tampak tak menyadarinya. Entah terlalu pede atau mereka sudah siapkan kartu truf lainnya.
Operasi klasik lainnya adalah manipulasi DPT. Di hampir semua pemilu (atau pemilukada) yang DPT-nya bermasalah, pasti ada operasi intelijen. Tujuannya sederhana: mendapatkan suara ekstra dan meminimalkan pendukung lawan, kalau toh masih kalah juga nanti akan dijadikan bukti adanya rekayasa DPT di persidangan MK. Teknik ini terbukti sukses di berbagai pemilukada. Mereka hanya sempat terhenyak ketika MK membolehkan penggunaan KTP pada saat pemilu, yang langsung ditunggangi dengan banyaknya pemilih siluman memanfaatkan kemudahan itu.
Pada saat menjelang pencoblosan, “serangan fajar” biasa dilakukan. Termasuk di dalamnya adalah merekayasa adanya politik uang oleh kubu lawan. Tujuannya tentu saja mendapatkan barang bukti. Di daerah yang materialistik, biasanya juga dilakukan penawaran semu yang seolah-olah dibuat kubu lawan. Tujuannya adalah untuk menekan “ongkos membeli suara”. Di Tangsel, operasi fajar seperti itu dilakukan dengan meniupkan rumor kubu Airin akan membayar 20 ribu per suara. Padahal apalah arti 20 ribu di kawasan seperti Tangerang Selatan yang berdekatan dengan Jakarta.
Selanjutnya adalah melakukan pengelembungan hasil perhitungan. Jangan salah, kalau di pemilukada pengelembungan ini umumnya bukan untuk mendapatkan suara tambahan. Tetapi justru untuk membuat barang bukti yang merugikan lawan. Karena itu kalangan intelijen biasanya akan meniupkan isu keamanan sistem setiap muncul wacana voting secara elektronik. Padahal dengan hasilnya langsung muncul dan diketahui publik, kalaupun sistemnya dibobol akan langsung ketahuan.
Tidak hanya bermain di operasi bawah tanah seperti itu, gerakan intelijen dalam menggalang dukungan terbuka melawan Kelompok Rawu juga dilakukan. Salah satunya adalah membekali dan mendukung operasional kelompok-kelompok masyarakat, khususnya kalangan yang vokal seperti kampus dan LSM. Kebetulan pula kepentingan mereka saling bertemu, karena sejak lama kelompok kampus tidak menyukai dominasi kelompok Rawu.
Kondisi ini sungguh sama dengan ketika SBY memenangkan pertarungan melawan Mega di tahun 2004 dulu. Kelompok masyarakat sipil menjalankan kerja sama “saling tidak melihat” dengan intelijen untuk memenangkan SBY. Entah apakah nanti kalau Arsjid terpilih mereka juga akan kecewa seperti terhadap SBY sekarang.
Update: Hasil resmi KPUD menyatakan Airin menang, dan kubu Arsjid akan membawa kasusnya ke MK. Kelihatannya Pemilukada Tangsel akan diulang, karena bukti-bukti semacam itu tampaknya sudah mereka persiapkan baik-baik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H