Perselingkuhanmu dengan teman barumu masih menyisakan perih di hati ini. Wajar saja, sudah bertahun lamanya kita membangun hubungan, dan kini engkau kandaskan hanya demi seseorang yang memiliki impresi menarik sesaat buatmu. Lelah, saat hati ini mengingat bagaimana sakitnya dada yang tercabik luka pengkhianatan. Sempat fisikku ingin berperang, menantang duel satu lawan satu dengan teman barumu itu. Ah tidak, aku urungkan saja karena perkelahian hanya akan menyisakan kesia-siaan. Tak terasa, tiga tahun berselang. Binar matamu masih tidak dapat aku lupakan. Aku sudah menjadi orang yang berbeda, usaha yang kurintis sudah mengantarkanku ke puncak kesuksesan. Dimanakah kau sekarang? Aku menghela nafas sembari memainkan gelas cappucino di kafe ala Seattle ini. Kuteguk cepat, kuletakkan gelas dan segera kubergegas. Pulang ke apartemenku. [caption id="" align="alignnone" width="310" caption=""][/caption] Di jalan, sore hujan yang rintik kupandangi dari kaca mobil Mercy-ku. Dadaku terkesiap, saat di perempatan jalan aku lihat seorang yang tidak asing. Wajah itu, tidak akan kulupakan. Ya, wajahmu. Mantan kekasihku. Kulihat kamu menggendong keranjang sampah, dan ada kait di tanganmu yang kau bawa. Wajah letihmu, diterpa derai hujan dan angin yang dingin. Aku mengusap mataku, seakan tak percaya dengan penglihatanku. Mantan kekasihku dulu, kini menjadi seorang pemulung? Berdecit ban mobilku kuhentikan tepat di depanmu. Kau berjenggit kaget saat kubuka pintu mobilku. Dari matamu dapat kulihat kau sangat kaget dan takut melihatku. Ya, ini aku, seseorang yang dulu kaucampakkan, pandangilah kesuksesan di diriku sekarang. Pandangi sepuasmu, dan ratapilah nasibmu saat ini. Aku tersenyum sinis penuh kemenangan, saat kulihat, seorang pria yang mendorong gerobak sampah mengekor di belakangmu. Dia adalah teman barumu yang dulu selalu kauceritakan. Selingkuhanmu yang jahanam, yang merebut manisnya cinta dari diriku. Ha ..ha .. ha .. ha .. ha .. Aku tertawa sekeras-kerasnya, kupandangi kalian berdua seperti memandangi kotoran binatang. Aku terpingkal-pingkal, bahkan hujan yang sudah membasahi setelan Armani-ku tak kuhiraukan lagi. Kalian, tampang gembel kalian benar-benar menyedihkan. Lelaki yang ada di sampingmu, selingkuhan jahanammuitu memandang dengan keras ke arah wajahku, ah aku tidak peduli. Kutunjuk dengan jariku ke muka pria itu, hei lihatlah aku sekarang, lihatlah kesuksesanku sekarang, kau hanya orang miskin sampah masyarakat saat ini. Entah apa yang membuat mereka bisa menjadi gelandangan seperti ini, yang jelas tiga tahun aku menderita dan bertanya, di sore hari berhujan ini kutemukan jawabannya. Suatu kegetiran hidup, yang kalian berdua terima. Wajah manismu yang kotor dan lusuh menunduk, kulihat air mata di sudut matamu, ah ataukah itu air hujan, aku tidak peduli. Terucap lirih, maafkan aku, dari bibir mungilmu. Bibir yang dulu pernah mengecupku dengan penuh rasa sayang. Dan kini aku adalah manusia yang tidak peduli Dan kini wajah lelaki gembel disampingmu itu makin membuatku ingin muntah Dan kini hanya kemarahan yang membuncah di dadaku Dan kini, aku tertawa lagi, tertawa puas,tertawa lepas, tertawa penuh kemanangan Entah seperti apa, sampai aku tidak bisa mendengar lengking tawaku sendiri Aku tertawa sperti orang kesetanan Puas, aku sangat puas Kuambil beberapa lembar ratusan ribu di dompet kulitku Dengan penuh kejijikan, aku lemparkan uang tersebut ke wajah ayumu Dan aku tertawa lagi, kubalikkan badan dan kembali masuk ke mobilku Dari kaca mobil, aku lihat kalian memunguti uang lembaran yang kulemparkan ke wajah kalian tersebut Aku tersenyum sinis Kunyalakan mobilku kembali Inilah balas dendam asmaraku
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H