22 Januari, tidak sendiri
Aku berteman iblis yang baik hati
Sepenggal lagu merdu dari Iwan Fals kulantunkan. Sambil berlalu berjalan menaiki tangga menuju lantai dua kantorku. Seperti biasa, iblis itu sudah duduk di mejanya sambil menatap layar komputernya. Sambil makan kulihat dari belakang punggungya dia membuka Facebook. Kuhela napas dan berlalu. Dia tidak melihatku.
Iblis yang baik hati, seperti di lagu Bang Iwan tadi, dan ku berpikir bahwa kamu baik hati denganku jika ada maunya saja. Selebihnya ya sifat kamu seperti iblis. Pergi saat aku sedang kesepian, tak peduli apapun yang terjadi kepadaku, saat kau butuh uang saja lah kau mendekat merapat, saat kau senang-senang kau menjauh menghilang. Dasar iblis, kutukku dalam hati.
Sampai meja kerjaku, duduk. Menyalakan komputer. Dan membuka Facebook.
Kugemeratakkan gigiku, saat membaca status Facebookmu yang sedang bermesra dan berkasihan dengan pria lain. Kubanting pulpenku ke meja, hingga rekan kerja di sampingku menoleh karena keasikannya mendengarkan lagu-lagu metal terusik dengan suara benturan pulpenku yang kubantingkan sekeras-kerasnya ke mejaku. Dasar iblis.
Berteman dengan iblis seperti di lagu tadi, yang sayangnya iblis yang satu ini tidak baik hati. Dia baik hati saat ada maunya saja. Kumengumpat sekencangnya, sampai rekan kerja di ruanganku menoleh ke mejaku. Pagi ini mungkin adalah pagi yang buruk buatku. Kusetel lagu keras-keras, kebesarkan volume speaker, lagu 22 Januari tadi. Semua menoleh ke arahku, dentuman speaker dari mejaku mulai mengganggu rekan-rekan kerjaku yang lain. Biar saja, biar si iblis yang duduk di lantai satu itu juga mendengarnya.
Rasa frustasiku justru makin menjadi, bahkan kusobek-sobek kertas laporan yang ada di mejaku. Rekan kerja sebelah mejaku sampai melongo dibuat karena melihat kelakuanku yang seperti orang mabuk. Dilihat seperti itu aku justru semakin kalap, aku buka Facebookmu di layar monitor, kubuka fotomu di sana lalu kuludahi sepuasnya layar monitorku. Teman-temanku makin heran sampai melongo melihat tingkah gilaku ini.
Arrrgggh...... aku berteriak dan menjambak-jambak rambutku, mengeluarkan kemejaku dari celana, dan berdiri sambil menendang kursi ke belakang. Kursi terpelanting keras ke tembok dan memantul ke meja rekan kerjaku, braaakkk..... Suaranya keras sekali. Temanku hanya geleng-geleng kepala melihatku seperti ini.
Sudah 1 jam berlalu dan rasa frustasi ini tak kunjung reda. Aku jadi ingin semakin gila. Kulempar sepatuku ke ke atas, mengenai AC dan sepatuku jatuh di meja rekan kerjaku yang duduk di pojokan. Dia sampai berdiri karena menghindari sepatuku yang hampir membuat jidatnya benjol. Beberapa teman menghampiriku dan berusaha menenangkanku. Ada yang membawakan kopi panas, tapi dengan dingin aku lemparkan gelas berisi kopi itu ke tembok. Gelas pecah berhamburan, dan tembok menjadi kotor menghitam terkena kopi. Bahkan muncratan kopi itu mengenai kemeja rekan kerja perempuan yang ada di sana. Dia hanya mengibas-ngibakan kemejanya dan menyumpah serapah.
Melihat aku yang semakin liar tak terkendali, rekan-rekanku mendiamkan aku. Merasa didiamkan aku semakin jengkel, aku bangkit naik ke atas meja. Aku tendang layar monitor berkali-kali dengan kakiku. Layar nampak retak, kuangkat dan kulemparkan ke meja temanku. Bruaaakkk... dia kaget mejanya tertimpa monitor LCD. Semua temanku sudah berdiri dari meja kerjanya, aku semakin liar. Mouse, keyboard bahkan lemari plastik aku lemparkan kesana kemari. Ruang kantor menjadi seperti medan perang. Aku bahkan meloncat dari meja, menghujani pukulan ke perut beberapa temanku, bahkan ada yang tepat kutonjok di pelipis matanya, lalu aku berputar dan menghujani office boy yang di dekatnya dengan pukulan dan terakhir tendangan berputarku. Otomatis dia langsung roboh.