Mari lupakan sejenak hirukpikuk berita-berita yang belakangan menyedot perhatian publik. Mari pandangan  sejenak  kita alhkan ke sekeliling belakangan ini. Amati di lingkungan tempat kita tinggal. Ada apa gerangan?
O, ada warna-warni nuansa merah putih di pagar depan rumah warga. Ada sejumlah tulisan heroik tentang kemerdekaan. Ada sejumlah lomba yang dihelat warga.
Lomba balap karung tingkat RT. Lomba balap sarung tingkat RW. Lomba nguber bebek di kali yang lumayan deras airnya. Lomba makan kerupuk ulet khusus bapak lansia. Lomba menangkap belut sebanyak-banyaknya dari sebuah bak yang tersedia. Adu ketangkasan menangkap kelicinan belut ini pesertanya diperuntukkan bagi ibu-ibu muda.
Di sekolah, melalui OSIS, menggelar  acara adu berjalan dengan bakyak panjang. Satu kelompok terdiri atas 3 - 5 orang.  Ada lomba kreativitas seni dan iptek. Misalnya, lomba paduan suara.
Lomba tentang minuman sehat dari susu jahe kemasan antarsiswa dalam rangka perwujudan proyek Pelajar Pancasila. Dalam hal iniproduknya dijual kepada warga sekolah dan masyarakat sekitar. Ini merupakan penanaman kewirausahaan di kalangan peserta didik.
Apa pun, kegiatan warga dalam merayakan ke-77 lomba ini patut diparesiasi. Apa pun yang ditampilkan warga dalam helat ini hendaknya disikapi sebagai bentuk kemerdekaan berekspresi.
Kita pun mafhum, dari tahun ke tahun tak pernah kita dapati bahwa sebuah lomba balap sarung mengenakan helm, disponsori oleh sebuah partai. Â Sarung dan helmnya dari partai yang lalu dicap dengan logo partai sponsor.
Aktivitas tersebut, murni ekspresi warga. Kalaulah ada iuran, tanpa ada paksaan. Mau kasih berapa pun, pengurus RT menerima penuh bahagia.
Budaya merayakan dengan gerakan alami warga  merupakan potret bahwa mereka merdeka jiwa raganya. Indikatornya: bergotong royong menghelat tanpa dipaksa. Kemudian, merayakan sejumlah acara tanpa protokoler.