Tadi malam, saya update status Whatsapp. Isinya stok terbaru kaos polos. Saya memang jualan kaos polos. Beserta sablonnya.
Lantas, ada yang merespon. Bertanya harga kaos polos. Saya jawab sekian. Dia menawar sambil bercanda "Gak harga corona cak (emoji senyum)?"
Saya anggap istilah "harga corona" sebagai penurunan harga. Disebabkan pandemi -- semua pasti sudah tau -- yang membuat goyah perekonomian. Akibat pandemi, banyak orang penghasilannya berkurang. Bahkan tak sedikit yang penghasilannya terhenti akibat PHK.
Saya sebenarnya ingin  menjawab candaan tersebut dengan candaan juga. "Harga masih seperti dulu, belum harga new normal. Apa mau harga new normal saja?"
Munculnya istilah "harga new normal" bukan tanpa sebab. Bukan untuk keren-kerenan. Baru kenaikan harga obat afdruk sablon yang penulis tau. Kemungkinan akan disusul item-item yang lain. Apalagi pembelian alat-alat pensteril untuk dipasang di tempat usaha kita sebagai syarat protokol kesehatan. Tentu lumayan menguras dompet.
Dari kondisi di atas bukan hal yang berlebihan bila akhirnya harga dinaikkan. Walau sedikit. Tapi mungkin tidak. Entahlah. Lebih baik keuntungan dimepetkan ketimbang tidak ada keuntungan sama sekali, bukan?
Atau diperlukan penyesuaian lain selain harga. Mungkin penghematan biaya produksi. Atau pengiritan waktu produksi. Atau nekat membuat promo gila-gilaan.
Ada saran?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H