Bila senyuman taburan bintang dan langit-langit mega-meganya, tiada air mata merembes. Sejatinya embun mengguyur nurani, rasa sejuk membungkus. Damai malamku, semua gelisah sirna dimangsa kesetiaan. Meski yang menjajah musim itu kerinduan deras terpancar saban malam, dan kala-kala membekap wajah mentari.
Kelapangan dada mencetak berjuta keping emas kepercayaan. Dunia cerah tanpa dibelit awan-awan prasangka. Asal nafas kerinduan sayang yang mengalir, bukan rindu yang membetot sukma di taman hati. Hanya kejujuran yang mampu meyakinkan layung-layung seliweran menganyam butir-butir cayaha tanpa gesekan.
Sayangnya, bila awan tlah berkulminasi siapa berani menjamin tanpa percik bunga-bunga api, dan dentuman suara membara dari kawah hati yang terluka. Seperti magma panca roba yang tetap mendesis penuh gelora kejar impian.
Kadang membakar ketenangan dengan lahar kesedihan. Hanguskan senyum-senyum manis menjadi badai nestapa dan banjir air mata. Akibat mendadak dangkal pengertian dan pemahaman, sehingga menutup kisi-kisi kedamaian. Mata air mendadak kering, air mata yang mengucur deras.
Pangkalnya, pahami garis lurus melangkah dan berdayung di tenggah ombak keyakinan. Sebesar apa pun gelombang, tak karamkan biduk, karena nahkoda setia kan cakap dan sigap kendalikan laju perahu.
*******
Bekasi, 10/02/21.
#Arsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H