Mohon tunggu...
Slamet Arsa Wijaya
Slamet Arsa Wijaya Mohon Tunggu... Guru - Tak neko-neko dan semangat. Sangat menyukai puisi dan karya sastra lainnya. Kegiatan lain membaca dan menulis, nonton wayang kulit, main gamelan dan menyukai tembang-tembang tradisi, khususnya tembang Jawa.

Sedang berlatih mengaplikasikan kebenaran yang benar, ingin lepas juga dari ketergantungan kamuflase dan kecantikan berlipstik yang mendominasi di lingkungan kita. Sisi lainnya, ingin jadi diri sendiri dan wajib mencintai tanah air sepenuh hati dan jiwa.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Tajamkan Mata Penamu Penyair

29 Januari 2021   09:10 Diperbarui: 29 Januari 2021   09:25 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
zanuaradiat.blogspot.com

Mata yang tak bisa membaca apa-apa di bentang alam. Padahal tetap gemerlap cahaya di bawah mangkuk raksasa biru ini. Jangan bilang tak dapat mengeja lafalnya apa, juga levelnya. Malah mulut ikut membisu, berjuta kata terbungkam. Mestinya terus suarakan apa yang dikabarkan otak dan direnungkan benak.

Kalau diam dan tumpul kreasi, itu penyair bisu meniti asa dalam lesu. Cakrawala tanpa cahaya. Hanya fatamorgana menyala-nyala. Mengacaukan rasa bagi yang matanya nanar. Padahal hujan peristiwa banjiri kalamangsa. Seharusnya ikut geming jangan dleming.

Belum terlambat tarik penamu, curahkan abjad-abjad di hamparan hati. Pajang di media untuk dibaca dunia agar tidak mencela. Ini bukan kebodohan mungkin ulah regulator memainkan regulasi. Hulu gundul hilir terpacul-pacul. Nestapa pedih oleh air mata deras mengucur.

Lakukan pembelaan, itu bukan senggama ketamakkan yang lahirkan bencana. Atas perselingkuhan kebijakan saling tutup mata. Seperti menutup saluran nafas-nafas gunung dan perbukitan dengan sampah-sampah dan kayu gelondongan. Lalu tersedak langkah ke muara dan tumpahkan muntah air bah.

Nurani terisak-isak serak. Katakan pada dunia efek perubahan iklim yang porak-porandakkan musim. Apakah percaya mereka, rasanya tidak. Perilaku ini bagai budaya tak diakui tapi ada di bumi beradab. Meskipun para mata jujur bersaksi, mereka para jorok dan dengki pekerti anggap sungai-sungai bak sampah murah meriah.

Jujur dengan nuranimu penyair, ungkapan yang tertera di sanubari sebagai nyata bukan maya. Kampanyekan berulangkali dengan bait-bait puisimu. Jaga warisan anak cucu lestari dan reboisasikan cemara-cemara tetap kokoh menjulang. Lebarkan terus sayap-sayap bakau cegah abrasi.

Penyair tak berkarya kepedulianmu yang terabrasi. Diksimu melempam asa suram. Bait-bait puisimu tak tajam bumi ini kan semena-mena dirajam. Demi keabadian hayati bolehlah pitammu naikan. Pancung tangan-tangan jahil dan gantung jiwa-jiwa serakah dengan pedang-pedang perundangan. Lingkungan lestari senyum berseri. Nurani bergambut dengki kematian bersama terus mendekati.

*******

Bekasi, 29/01/21

#Arsa.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun