Mohon tunggu...
Slamet Arsa Wijaya
Slamet Arsa Wijaya Mohon Tunggu... Guru - Tak neko-neko dan semangat. Sangat menyukai puisi dan karya sastra lainnya. Kegiatan lain membaca dan menulis, nonton wayang kulit, main gamelan dan menyukai tembang-tembang tradisi, khususnya tembang Jawa.

Sedang berlatih mengaplikasikan kebenaran yang benar, ingin lepas juga dari ketergantungan kamuflase dan kecantikan berlipstik yang mendominasi di lingkungan kita. Sisi lainnya, ingin jadi diri sendiri dan wajib mencintai tanah air sepenuh hati dan jiwa.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Menanti Purnama Terbit di Malioboro

19 Desember 2020   15:27 Diperbarui: 19 Desember 2020   15:32 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: traveltriangle.com

Matahari hampir mecium ubun-ubun, ketika bersamaan disambut manis Sarkem. Langsung dipapah senyumnya yang paham nyanyian perutku. Lodeh oseng gudeg dan nasih putih saling membahu, menghapus haru-biru gelora duka, dalam rentang seperempat hari hampa kasih sayang.

Masih ditatap senyumnya kian manja, ketegaran jiwa makin terasa seiring gemetar yang luntur bersama keringat dan raibnya hidangan. Jari-jari mungilnya persilahkan sejenak singgah. Bisa lulur bisa cukur atau menikmati suara tekukur bersahutan nuri, atau cucakrawa berbalas kenari. Semua itu kukembalikan ke angan, dan hanya senyumnya kupetik masukan ke saku kalbu.

Tiada rindu lagi pada Sarkem saat itu, kebaikannya kucatat dan masukan laci menjadi kenangan bersama jutaan lainnya. Rindu yang masih tumbuh sejak di kejauhan itu Mai. Entah dia hadis, wanita muda atau paruh baya. Ia tetap magnet besar bagai bermuda. Mereka yang datang dari mana saja selalu tersedot dan lupa, seolah Jogjakarta hanya selebar telapak tangan.

Tergiring di atas roda tiga melayang dalam angin tanpa deru, kecuali sesekali debu mengusik. Malioboro akang bukan mailoveboro, kata pengayuh membuka tabir. Pada keblinger yang mengecamuki, bahwa ia wanita bercinta dengan boro. Pikirku selama ini yang diucapkan lidah tentangnya adalah Mailoboro. Akhirnya menyerah pada kebenaran, abjad di papan nama dan terpahat di setiap hati itu Malioboro.

Seiring jingga menutup kerai menghantar ke bilik rembulan, aku masih banyak analisa tentangnya. Hingga terabaikan mentari berselimut gelap, masih termangu di sisi Benteng Vriendenburg telanjang dada hingga bermandi cahaya menjelma begitu gagah. Malioboro pun makin menawan hati. Aku berteman trotoar mulai dirayapi pelancong, sambil menanti purnama terbit di dadaku    

*******      

Jogjakarta, Nov 2018.

#esawe.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun