Berpasang-pasang itu bukan mencari sepadan salurkan kekesalan. Apalagi kolaborasi luapkan dendam. Kau pinjam mulutnya tuk suarakan kebencianmu. Sungguh banyak kaget tak menyangka bibirmu bergincu. Mampu mengolah kata menghipnotis pemain rasa. Yang buruk kau ramu menjadi semanis teh tubruk.
Andai damai saja niscaya anugrah lekas berpihak. Segar, bagai menyeruput kopi hangat pagi hari. Jiwa tenteram karena rasa yang bicara. Kesantunan dan kepatuhannya laksana semilir dari celah-celah daun. Â
Indahlah setiap ruang nurani dan rongga jiwa berhias melati pekerti dan rekah mawar pengertian. Seiring dinamika yang bergulir tetap pandai kendalikan amarah.
Mestinya kau mampu menjadi gerimis di tengah gersang dan jadi embun cerahkan wajah yang kekeringan. Niscaya hidup makin bermakna, bukan rekatkan lembayung pada senja.
Ahkirnya kini semua itu bagimu sudah menjadi mimpi siang. Sejak angkara membakar hatimu dan berkolusi pendengki. Apakah ada konsekuensi seandainya dia terkunci di balik jeruji, karena kau suruh bernyanyi nyaring sepahit kekesalanmu.
*****
Bekasi, 24/10/2020
#esawe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H