Saat daun daun masih pulas berpeluk bening embun, sama hangatnya aku mendekapmu bantal guling. Bukan pelarian tak memelukmu bulan, hanya lubang waktu belum terenda sepenuhnya.
Semestinya kau menjadi air wudhuku. Dan aku menjadi sajadah yang menuntunmu tuk selalu sujud. Betapa indahnya langit fajar, disanalah pilar pilar cinta yang elok kita mekarkan. Teruslah susuri sudut sudut yang belum tentu berhias kembang.
Mungkin sama seperti senyumu sekejap nihil. Aku cukup mengerti tetapi dinamika ini tidak bisa diingkari. Genggam, direnungkan dan terus ajaklah diskusi. Kalau kau tahu percakapan itu pasti cemburu. Dengan siapa sedang senggama, tidak lain dengan jiwamu yang sedang jadi embun dan sukmaku yang menjadi uap air.
Maka memarahimu itu keliru karena kembang pagi kan layu. Tetaplah sanjung, karena selepas kabut kabut pergi yang tertinggal adalah kemilau mutiara yang dilahirkan mentari.
Atas ketabahanmu, kejora merasuk menjadi pahala atas zikir yang sepertiga malam itu. Menjelma jadi cahaya dan langkahpun tak tersandung prahara. Karena lebih dulu tersingkirkan oleh kencagnya pekerti.
Akhirnya langkah yang dilalui tetap berseri walau dalam taburan debu masalah. Karena kita telah ada dalam pelangi, berseri selalu terhujani derasnya kesabaran dan selembut ketabahan.
*****
Bekasi, 220920.
#Slamet Arsa Wijaya.#
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H