Mohon tunggu...
Slamet Haryono
Slamet Haryono Mohon Tunggu... profesional -

http://slamethdotkom.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kanca Wingking: Menggugat Gagasan Kesetaraan Gender?

21 Maret 2011   00:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:36 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Istri yang bukan sekedar pendamping hidup, juga lebih dalam dari rekan kerja tidak hanya sebatas menghargai masing-masing dalam pekerjaannya tapi juga sebagai pendukung dalam meningkatkan kualitas kehidupan, termasuk dalam bidang pekerjaan. Kualitas kehidupan bukan hanya diukur dari yang terlihat diluar sebagai konsekuensi dari pekerjaan saja, namun ke dalam juga keluar. Ke dalam yaitu dengan mengembangakan kesadaran atas nilai-nilai filosofi jawa yang termanifestasikan dalam tindakan keluar, sebagai bagian menjadi masyarakat jawa.

Dalam kelakarnya, teman saya Andi Wiratno menyebutkan kriteria calon istrinya tidak lagi menggunakan istilah bobot, bibit, bebed namun istrinya kalau dijak kondangan ora wirang, ditinggal ora ilang (diajak pergi kondangan tidak memalukan, ditingal tidak hilang). Nampaknya sangat klise, namun ternyata mempunyai makana yang mendalam, ketika diajak pergi kondangan tidak memalukan bukan semata-mati istrinya itu cantik namun juga bisa mengimbangi baik itu itelektualitas, karir atau pembawaannya. Jika dipahami lebih lanjut, ketika berbicara mengimbangi apakah berarti laki-laki tertinggal di belakang, lebih rendah atau hanya menjadi semacam pengawal pribadinya saja? Tentu tidak, laki-laki berada seiring sejalan dengan perempuan dan menjadi pendukung satu dengan yang lainnya. Ketika perempuan ditinggal tidak hilang bukan hanya berbicara tentang kesetiaan saja, namun juga ketika laki-laki sudah mulai kehilangan arah hidup sepatutnya perempuan yang meberikan harapan dan mengarahkan kembali ke tujuan hidupnya. Apa yang disampaikan Andi tersebut, sebenarnya bermakna kurang lebih sama dengan bobot, bibit, bebed dengan penggunakan kalimat yang sederhana.

Tujuan hidup manusia jawa bukan semata-mata capaian-capaian secara personal, namun juga terpancar keluar dalam keluarga dan masyarakat. Tidak perlu kaget jika dalam satu tanyangan iklan di televisi menggambarkan pasangan muda-mudi ditanya oleh ibunya “kapan menikah?” setelah menikah, ibunya kembali bertanya “kapan punya anak?” setelah punya anak, ibunya bertanya “kapan punya adik?” Begitulah kira-kira gambaran kecil menjadi jawa, maka dari itu janganlah lekas puas dan bangga ketika sudah mendapatkan karir yang tinggi (baik itu laki-laki atau perempuan) jika hanya seorang diri dan tidak peduli terhadap orang lain.  Apakah berarti harus menikah? Seyogyanya, menikah namun menjadi jawa (berguna untuk kehidupan bebrayan) bukan hanya ada dalam ikatan pernikahan saja. Jika ikatan pernikahan menjadi terlalu berat, tidak usah memaksakan diri daripada menambah jumlah orang jawa sing ilang jawane.

Gagasan kesetaraan gender bukanlah barang baru yang mesti dielu-elukan. Penghargaan laki-laki terhadap perempuan dalam budaya jawa, jauh lebih luhur daripada gagasan kesetaraan gender. Kembali menggali kepada identitas kultural masing-masing akan mendapati kompatibilitas yang lebih tinggi daripada sekedar ikut-ikutan budaya barat. Saya berterimakasih kepada pencetus dan pengusung gerakan ini, setidaknya saya jadi menyadari bahwa di jawa juga mempunyai nilai-nilai itu jauh sebelum orang gempar membicarakan kesetaraan gender.

***

Artikel lainya dapat dilihat di http://slamethdotkom.wordpress.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun