Polemik Pencalonan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI) yang juga Ketua DPP Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) terus bergulir. Yang terbaru Komisi Pemilihan Umum (KPU) menolak memasukkan nama OSO dalam Daftar Caleg Tetap DPD RI untuk Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 daerah pemilihan Kalimantan Barat, karena hingga waktu yang ditetapkan, ia belum juga mengundurkan diri Hanura.
OSO sendiri berkeras tidak akan mundur dengan pendiriannya tersebut. Tak main-main, ia membawa pencoretan namanya oleh KPU tersebut ke ranah hukum kepolisian. Ia juga meminta Bawaslu yang sebelumnya telah memerintahkan KPU memasukkan namanya dalam DCT, untuk melaporkan partnernya sebagai penyelenggara Pemilu tersebut ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Dengan terbukanya lembaran baru pelaporan tersebut, maka berarti pula akan semakin panjang perseteruan antara orang nomor wahid di DPD RI tersebut dengan lembaga penyelenggara Pemilu. Lantas siapa yang akan keluar menjadi pemenang sejati dalam perseteruan ini, mari kita tunggu kelanjutannya.
Terlepas dari polemik yang terus bergulir, nama OSO sejatinya sudah jauh hari menggema di bumi pertiwi khususnya Kalimatan Barat. Pasalnya, sebelum memegang Ketua Umum DPP Hanura, ia juga pernah menjadi Ketua Umum Partai Persatuan Nasional (PPN) meskipun akhirnya gugur di Parlemen 2014 lalu. Saat itu, OSO juga merupakan Ketua Umum PPN yang sekaligus mencalonkan diri sebagai Anggota DPD dari Dapil yang sama.
Di lokal Kalimantan Barat sendiri, OSO menjadi satu di antara tokoh penting yang banyak melahirkan karya. Satu di antaranya terbentuknya Kabupaten Kayung Utara (KKU), Pembangunan Masjid Agung Mujahidin Kalimantan Barat dan masih banyak lagi. Terlepas apakah ia terpilih menjadi anggota DPD atau tidak, OSO tetap dikenang oleh masyarakat Kalbar sebagai tokoh penting yang layak dikenang.
Dengan landasan tersebut, layak kiranya OSO memberikan pendidikan politik terbaik kepada masyarakat khususnya Kalimantan Barat yang menjadi tempatnya tinggal selama ini.Â
Masyarakat Kalbar saat ini menanti sikap negarawan OSO, dengan tidak memperkeruh suasana Pemilu 2019. Terlebih, masyarakat sedang dihadapkan pada suksesi kepemimpinan nasional.
Selain itu, dalam menjalankan tugasnya, KPU dilindungi oleh undang-undang yang diperkuat oleh Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) Â nomor 30/PUU-XVI/2018 melarang pengurus partai politik rangkap jabatan sebagai anggota DPD, sehingga pelarangan ada pada tahap pencalonan bukan setelah terpilih dan jadi syarat ditetapkannya calon terpilih.
Terlebih, Presiden Jokowi sebagai orang nomor wahid di negeri ini saja beberapa kali mengungkapkan kepada aparatnya untuk tidak rangkap jabatan. "Satu jabatan saja sudah cukup, satu saja belum tentu mampu dijalankan apalagi banyak," ujar Jokowi dalam beberapa kesempatan.
Hingga kini Jokowi pun memilih untuk tidak rangkap jabatan dalam posisi apapun baik LSM, Partai Politik maupun jabatan-jabatan lain. Di jajaran bawahannya, Presiden juga meminta untuk mengundurkan diri dari posisi kepengurusan organisasi baik pemerintah maupun non pemerintah. Langkah presiden ini baik agar setiap aparatnya mampu berkonsentrasi dengan pekerjaan yang diamanahkan tanpa harus memikirkan pekerjaan lain yang belum tentu dikuasai.
Bukankah persoalan OSO sejatinya bisa diselesaikan segera, andai ia mau sedikit fleksibel dengan mengundurkan diri sebagai Ketum Hanura agar masuk dalam DCT Pemilu 2019. Toh, ia dapat kembali maju menjadi Ketum Hanura jika nanti proses Pemilu sudah selesai, terlepas apakah ia akhirnya terpilih atau tidak menjadi anggota DPD dari Kalbar. (*)