Mohon tunggu...
Slamet Bowo Sbs
Slamet Bowo Sbs Mohon Tunggu... Jurnalis - Sarana Berbagi

Bukan siapa-siapa namun bertekad memberikan yang terbaik untuk sesama, pernah 7 tahun menjadi "pekerja" media . Saya bisa dihubungi di wa/call 085245208831, email : slametbowo83@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Save KPK Save Indonesia

5 Desember 2012   16:16 Diperbarui: 24 Juni 2015   20:08 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berpikir menjadi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tentu menjadi hal yang menakutkan bagi sebagian besar orang khususnya pemuda di Indonesia. Selain harus menghadapi banyak ancaman, menjadi ketua KPK juga memiliki resiko cukup menakutkan jika tidak memiliki integritas diri yang cukup kuat. Seperti yang masih hangat di ingatan kita hingga kini, KPK harus berseteru dengan lembaga sipil bersenjata yakni Kepolisian Republik Indonesia (POLRI). Bukan hanya persoalan pembagian kewenangan yang semakin tidak jelas antara KPK dan POLRI. Persoalan seperti ini sudah bisa dipastikan juga akan merembet ke keamanan seorang ketua KPK yang saat ini dijabat Abraham Samad. Ancaman fisik tentu sangat kental terasa, terlebih premanisme oleh kepolisian juga masih sangat kental dalam penanganan kasus. Terlebih kasus korupsi simulator Surat Ijin Mengemudi (SIM) melibatkan pejabat berpangkat Brigadir Jenderal (Brigjend) dijajaran kepolisian. Yang tentu memiliki ratusan bahkan ribuan yang siap menjadi pendukung fanatik tanpa pandang persoalan. Namun bagi sebagian kecil pemuda yang tidak berpikir picik dan masih netral, menjadi ketua KPK tentu justru menjadi impian tersendiri. Terlebih bagi mereka yang selama ini bergerak di bidang kemahasiswaan dan secara terus menerus menyuarakan anti korupsi di lingkunganya masing-masing. Tidak terkecuali bagi saya, menjadi mantan seorang aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Sintang Kalimantan Barat selama menempuh pendidikan Strata Satu (S1) di Universitas Kapuas (Unka) Sintang dari 2004 hingga 2009, membuat saya bermimpi suatu saat mendapatkan kepercayaan menjadi ketua KPK. SAVE KPK  SAVE INDONESIA Kebiasaan melawan korupsi selalu saya dengungkan selama ini, mulai dari mengkritisi kebijakan Pemkab Sintang dalam pengalokasian dana APBD setiap tahun. Sampai menyoroti kasus-kasus korupsi besar yang terjadi di Kabupaten Sintang. Semua ini menjadikan saya semakin terpacu untuk turut memerangi korupsi di negeri ini. Karena bagi saya, korupsi sangat merugikan negara karena dana yang dikorupsi merupakan dana yang bersumber dari pajak yang dibayarkan masyarakat. Tidak terbayang bagi saya dana yang dikumpul mulai dari Rp 100 yang dikumpulkan masyarakat tersebut dikorupsi, padahal mestinya dipergunakan untuk pembangunan negeri ini agar tidak ada lagi jalan yang rusak. Ada beberapa konsep yang saya tawarkan jika masyarakat mempercayakan kepada saya menjadi ketua KPK menggantikan Abraham Samad. Terutama menyiapkan langkah memecahkan mata rantai korupsi di Indonesia ini, karena di Indonesia saat ini sudah terkenal korupsi sebagai budaya baru, sehingga hal tersebut harus dihapuskan. Memang harus diakui, memutuskan mata rantai tersebut tidak semudah membalik telapak tangan karena biasanya korupsi dilakukan secara terstruktur dan masif namun bukan mustahil dilakukan. Langkah pertama yang saya lakukan tentu dengan melakukan pembuktian terbalik pejabat yang terindikasi melakukan tindak korupsi. Mulai dari pejabat tertentinggi seperti presiden, menteri, anggota DPR, Gubernur, Bupati, Camat dan seterusnya. Ini perlu dilakukan khusus bagi mereka yang memiliki kekayaan tidak sesuai dengan pendapatan masing-masing. Untuk mendukung upaya tersebut tentu personil KPK harus diperbanyak, khususnya yang merupakan rekruitmen sendiri (bukan personil kepolisian, kejaksaan dan lainya- red). Sehingga diharapkan mampu bekerja secara independen. "Personil KPK saya berharap juga berada di kabupaten-kabupaten yang ada di Indonesia bukan hanya Ibukota Jakarta seperti selama ini." Ini mengingat potensi korupsi justru yang terbesar terjadi di daerah dibandingkan dengan di tingkat pusat. Untuk penuntutan mereka yang sudah terbukti melakukan tindak korupsi, saya akan mengusulkan hukuman mati bagi mereka yang terbukti melakukan tindak korupsi di atas Rp 1 miliar. Sementara untuk yang melakukan korupsi di bawah jumlah tersebut disesuaikan dengan ketentuan hukum yang berlaku. Bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang terindikasi melakukan tindak pidana korupsi, saya akan usulkan langsung dilakukan pemberhentian dari jabatan saat ini kepada pemerintah yang ada di atasnya. Bagi mereka yang resmi menjadi tedakwa maka harus langsung dilakukan pemecatan dan harta bendanya yang diduga hasil korupsi dilakukan penyitaan secara keseluruhan. Guna memperkecil upaya korupsi di daerah-daerah, saya juga akan menugaskan personil yang ada di kabupaten-kabupaten "melakukan pengawasan secara ketat pembahasan APBD di masing-masing daerah" dan meminta segera melaporkanya ke pusat temuan sekecil apapun. Dalam upaya menjaga anggota KPK di daerah bersikap netral, harus ditingkatkan integritas dengan upaya merekruit lulusan terbaik kampus tempatnya menempuh pendidikan selama ini. Saya juga akan bekerjasama dengan seluruh sekolah tingkat SD hingga SMA bahkan perguruan tinggi se-Indonesia untuk menanamkan budaya anti korupsi. Dimulai dengan pemasangat stiker, baliho dan spanduk anti korupsi di masing-masing sekolah, hingga pembuatan kantin kejujuran di setiap sekolah yang ada. Dan "Satgas Anti Korupsi" di sekolah-sekolah tersebut yang bertugas mengawasi teman-teman sekelas mereka sendiri. Begitu juga dengan upaya menanamkan kebiasaan anti korupsi di masyarakat, saya akan perkuat kerjasama dengan media-media yang memiliki pandangan senada dengan KPK terkait korupsi. Dengan begitu maka saya harapkan gerakan anti korupsi bukan hanya gerakan KPK sebagai lembaga resmi pemerintah, namun juga menjadi gerakan yang mendarah daging bagi masyarakat Indonesia. Sehingga pepatah yang selama ini mengatakan "korupsi sudah menjadi budaya" berganti menjadi "Indonesia negeri anti korupsi". Demi terwujudkan Indonesia yang adil dan makmur. Semoga!!!!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun