Mohon tunggu...
Slamet Mulyani
Slamet Mulyani Mohon Tunggu... Dosen - Peminat Pendidikan dan Bahasa Arab

Dosen Bahasa Arab STAIN Bengkalis

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Uang Saja Butuh Sanad, Apalagi Ilmu!

5 Januari 2019   11:36 Diperbarui: 5 Januari 2019   11:41 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Selain ulama yang pernah berguru langsung kepada beberapa sahabat Nabi, Imam Nu'man bin Tsabit atau lebih dikenal dengan nama Imam Abu Hanifah juga merupakan pebisnis sukses. Kepiawaian berdagang yang diwarisi dari ayah dan sang kakek mengantarkannya menjadi ulama besar dengan kemilau keilmuan dan kekayaan. 

Tak jauh berbeda, Imam Malik bin Anas sang penulis kitab al-Muwattha' juga demikian. Sebagai ulama dan mufti beliau justru lebih memilih kehidupan mewah dan kaya. Guru Imam Syafi'i ini selalu berpakaian mewah, berkendara dengan kuda dan unta yang mahal, menempati rumah megah, serta selalu memilih makanan dengan kualitas baik. Pandangannya tentang harta sama dengan pemirikan Abu Hanifah, menurut keduanya, diantara wujud syukur seorang hamba kepada Tuhannya adalah memperlihatkan bekas dan tanda nikmat yang telah Allah berikan. Meski demikian, tak sedikit pula ulama yang berpendapat lain. Imam Syafi'i misalnya, beliau lebih memilih hidup sederhana daripada mewah bergelimang harta.

Sebagai satu diantara empat imam madzhab (Fikih), Muhammad bin Idris as-Syafi'i atau lebih dikenal sebagai Imam Syafi'i masyhur dengan kecerdasan luar biasa dan kehidupannya yang sangat sederhana. Kecenderungan tersebut bukan tanpa alasan. Sebagai ulama yang juga mufti seperti gurunya, Imam Syafi'i sangat paham bahwa harta akan mempersulit hisab di hari akhir. Pemahaman seperti ini boleh jadi benar sebab ada riwayat yang menyatakan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa agar hidup miskin, wafat dalam keadaan miskin, serta (di hari akhir nanti) dikumpulkan bersama golongan orang-orang miskin.

Terlepas dari kontroversi tentang status hadis tersebut termasuk kategori gharib atau bahkan dhaif. Yang jelas, kelak di hari akhir, segala sesuatu yang ada pada diri kita akan dimintai pertanggungjawaban. Harta, keluarga, bahkan ilmu dan ibadah kita di dunia akan dihisab di Pengadilan Tertinggi.

Uniknya, konsep ini akhirnya berubah pasca pertemuannya dengan Imam Syaibani, murid Imam Abu Hanifah yang memiliki kehidupan mewah dan kaya. Menurut as-Syaibani, jika orang-orang shalih enggan menguasai harta maka orang-orang fasik akan menggunakannya untuk maksiat. Begitulah Imam Syaibani menjembatani problematika harta dan kemewahan yang ada dalam pemikiran Imam Syafi'i.

Guru memang seperti itu, ia adalah pelita dalam kegelapan. Embun penyejuk dalam kehausan. Pribadi yang akan membimbingmu dari tidak tahu menuju tahu. Meski sikapnya kadang membuatmu bingung, namun semua dilakukan karena ketulusan cintanya kepadamu. Ia adalah orang tua kedua yang senantiasa mendoakanmu dalam kebaikan. Jika bukan karenanya, maka kita tidak akan pernah mengetahui apapun.

Jangankan untuk ilmu, masalah harta saja Imam Syafi'i yang cerdas itu (harus) berguru kepada Imam Syaibani. Andai tak berjumpa dengannya, bisa jadi pandangan madzhab Syafi'i tentang harta tidak akan pernah berubah sampai hari ini. Dan jika ini terjadi, boleh jadi seluruh pengikut madzhabnya juga akan memilih hidup miskin. Sebab dalam pandangan Imam Syafi'i, harta yang ada justru akan mempersulit 'jalan' pertemuan dengan sang Kekasih, Allah Rabbul Izzah.

Bengkalis, 04/01/2019

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun