Mohon tunggu...
Slamet Muliono
Slamet Muliono Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Negara Setengah Merdeka

30 September 2015   10:22 Diperbarui: 30 September 2015   11:12 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Negara Setengah Merdeka 

Dr. Slamet Muliono

Berbagai ironi masih terdengar, baik sayup-sayup maupun berdengung, di tengah perayaan hari kemerdekaan di negeri ini. Betapa tidak, sebagai bangsa yang mengumumkan bebas dari penjajahan 70 tahun yang lalu, tapi kita jumpai kondisi masyarakat kita seperti dalam keadaan terjajah. Bila di lingkungan perkotaan, banyak ditemui warga asli atau pribumi hidup dalam serba keterbatasan, miskin dan bahkan bekerja sebagai pekerja kasar atau buruh pabrik dengan pendapatan yang hanya untuk bertahan hid up. Terlebih lagi bila kita telusuri kehidupan masyarakat pelosok atau pinggiran desa, maka lebih mengenaskan khususnya ketika tanah dan ladang mereka sudah terjual dan dibeli oleh para kapitalis kota.

Sebagai bangsa besar karena jumlah penduduk banyak, wilayah luas, dan sumberdaya yang melimpah, tetapi mayoritas penduduknya kurang memiliki kualitas hidup yang layak dan tentu akan sulit bersaing di tingkat global. Hal ini bisa dilihat dari skill yang dimiliki oleh kebanyakan warga yang sangat rendah sehingga kurang diperhitungkan oleh pihak lain. Bahkan yang lebih miris lagi, sebagai bangsa yang dikenal sebagai bangsa yang beradab dengan perilaku sopan dan santun, saat ini ini mulai mengalami pergeseran. Pergeseran itu bisa dilihat dari sifat tidak jujur, tidak disiplin, sehingga kurang menunjukkan masyarakat yang berkualitas. Kita juga sering mendengar dan melihat tontonan perilaku kekerasan dan tingkah laku biadab, seperti tawuran antar warga atau antar pelajar, budaya merusak yang ditunjukkan generasi muda seperti para pengendara moge (motor gedhe), atau geng motor. Hal ini semakin menurunkan harkat dan martabat sebagai bangsa yang beradab.

Sebagai bangsa yang sering mendengungkan sportivitas dan kejujuran, tetapi yang terjadi adalah banyaknya tradisi jalan pintas dan menghalalkan cara untuk mencapai tujuan. Hal ini menjadikan anak bangsa ini tidak siap bersaing secara sportif dan terjerumus pada budaya tidak siap kalah dari segala bidang. Kondisi yang demikian pada akhirnya akan memproduksi budaya inferior di tengah superioritas orang lain. Dalam tataran empirik, sering kita dengar seruan untuk mengajak dan menggunakan produk lokal, bahkan pemerintah dengan berbagai kesempatan menyelenggarakan berbagai momen untuk mengiklankan pentingnya mempergunakan produk lokal.

Pameran dikemas begitu menarik guna menyadarkan masyarakat untuk mempergunakan produk dalam negeri, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Kebanyakan warga justru bangga dan senang dengan produk impor. Ketika pemerintah dan pemerhati menggalakkan konsep pemberdayaan masyarakat dengan mencintai produk lokal, tetapi produk impor justru terus membanjiri pasar-pasar lokal dan tradisional. Masyarakat lebih senang dan bangga makan di restoran Kentucky Fried Chicken atau Mc Donald, dan minum Coca-Cola, Sprite serta Fanta daripada menyantap produk-produk lokal dan warung-warung tradisional. Masyarakat lebih bangga mengenakan baju, celana, sepatu sandal impor daripada produk dalam negeri.

Sebagai bangsa yang melandasi hidupnya dengan nilai-nilai agamis dan di setiap pembicaraan terus mendengungkan hidup harus berlandaskan agama, tetapi perilaku menyimpang dan tidak amanah semakin besar. Hidup koruptif juga masih kita lihat pemandangan umum di negari kita, mulai level atas hingga bawah. Betapa banyak perilaku pejabat atau rakyat yang diberi amanah, tetapi justru menyimpang dan menyuburkan budaya korupsi itu. Kasus-kasus korupsi bukan semakin surut tetapi justru semakin massif dan bertindak secara kolektif, padahal lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus gencar menangkap dan menghukum berat pelakunya. Bukankah amanah dalam menjalankan tugas akan membawa keberhasilan pribadi dan berdampak munculnya kesejahteraan sosial. Kita bisa lihat rujukannya dalam Islam ketika seorang raja mempercayakan Nabi Yusuf kedudukan yang tinggi karena memiliki kapabilitas dan kapasitas yang bagus, sehingga dia dipercaya. (lihat QS. Yusuf : 55)

Bahkan yang lebih ironis lagi, kita dikenal sebagai bangsa agraris, karena memiliki wilayah yang luas dan subur untuk ditanami produk-produk pertanian. Namun faktanya, kita tidak hanya kurang mampu memproduksi hasil pertanian yang unggul dan kompetitif, tetapi justru mengimpor dari negara lain. Kita sulit menalar bahwa beras, kedelei dan produk pertanian yang lain didatangkan dari negara lain karena harganya lebih murah dan kualitasnya lebih bagus. Beberapa minggu yang lalu, masyarakat sempat kehilangan stok daging, karena tidak tersedianya daging di pasaran. Ini semakin memperburuk citra bangsa ini sebagai bangsa yang besar tetapi tidak memiliki kualitas yang bisa diandalkan.

Pekerjaan besar yang kita lakukan saat ini bagaimana meningkatkan standar dan kualitas sumber daya manusia untuk mengelola sumberdaya alam yang melimpah. Sumber daya manusia yang berkualitas akan siap bersaing secara sehat, sehingga menghasilkan produk yang unggul dan kompetitif. Hal ini bukan hanya menghasilkan devisa negara dan menghidupkan daya saing, tetapi akan mengangkat harkat dan martabat bangsa yang saat ini lebih terpuruk daripara era sebelum merdeka. Bukan saatnya mengedepankan dan membanggakan kuantitas dan meremehkan peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Ini hanya akan melahirkan generasi bermental marginal dan melestarikan neokolonialisme.  Penjajahan.

Surabaya, 18 Agustus 2015

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun