Mohon tunggu...
Savo Skyva
Savo Skyva Mohon Tunggu... Administrasi - Karyawan biasa dan penggemar olahraga

Seorang penggemar olahraga. Saking cintanya kepada Indonesia dan Sepakbola selalu merayakan hari jadinya bersamaan dengan PSSI, namun terpaut usia 47 tahun. Saat ini bekerja di industri manufaktur.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Zonasi Meteran

24 Juni 2019   17:10 Diperbarui: 24 Juni 2019   17:21 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada artikel yang menyatakan, sekarang anak dengan nilai UN rendah bisa masuk sekolah favorit, karena rumahnya dekat sekolah. Ada juga yang menulis, saat ini anak yang tinggal di lingkungan kumuh, dapat masuk SMA idaman, karena tempat tinggalnya hanya beda gang dengan sekolah tersebut. Lho memangnya di lingkungan sekolah, nilai anak-anaknya rendah semua? Atau di lingkungan sekolah sekelilingnya orang miskin. Kan nggak juga. Lha terus maksudnya zonasi ini bagaimana?

Sewaktu saya lulus SD di tahun 1989, juga diterapkan system zonasi, rayon di kala itu. Seluruh SD di kelurahan kami, pilihan SMP-nya hanya 1. Jadi kita "terpaksa" pilih SMP tersebut, yang memang SMP ini tidak terlalu favorit dibanding SMP lain. Tidak ada pilihan ke-2 atau ke-3, beda dengan pilihan kakak2 angkatan sebelumnya, yang ada 3 pilihan SMP. Saat itu, tentu saya kecewa, karena tidak sesuai dengan harapan dapat bersekolah di SMP favorit. Tapi sebenarnya kalau dilihat dari sudut pandang SMPnya, SMP saya tersebut meningkat nilai masuknya, dan harusnya semakin merata di antara sekolah2 ini. Namun nggak lama kemudian, system rayon ini kembali lagi ke 3 pilihan tidak 1 pilihan lagi.

Sistem zonasi ini katanya bertujuan untuk pemerataan Pendidikan, maksudnya memeratakan sekolah-sekolah sehingga tidak ada sekolah favorit. Saya sangat sepakat dengan tujuan ini. Namun masalahnya pelaksanaannya adalah penseleksian siswa baru dengan jarak dari rumah ke sekolah, siapa yang paling dekat, dia yang lolos, istilah saya Zonasi Meteran. 

Lho, kalau begini sih, pemerataan sekolah2 tidak akan terjadi, yang terjadi adalah penurunan nilai masuk (passing grade) dari siswa baru. Karena kita masih tidak yakin dengan kemampuan sekolah, kita masih percaya bahwa output sekolah akan linier dengan inputnya. Jadi akan sangat memungkinkan prestasi sekolah akan menurun, apabila prestasi dilihat dari nilai UNnya. Saya orat-oret sedikit ilustrasi nilai masuk sekolah (lihat gambar).

Zonasi seharusnya tidak mendiskriminasi anak karena lokasi rumahnya jauh dari sekolah. Zonasi harusnya ditetapkan sehingga semua anak dalam zona tersebut punya peluang yang sama untuk masuk ke sekolah dalam zona tersebut. Kemudian zonasi juga harusnya membatasi pilihan anak, tidak perlu banyak2, cukup 2 saja, yaitu 1 sekolah di dalam zona dan 1 sekolah lagi di zona tetangga. 

Jadi pekerjaan berat dari Diknas adalah menetapkan zona. Tiap sekolah punya zona masing2, dengan mempertimbangkan populasi penduduk dan juga kapasitas kursi sekolah. Kemudian diranking berdasarkan nilai UN. Apabila merasa tidak adil dengan nilai UN, bisa ditambahkan penilaian mata pelajaran lain sebagai tambahan materi di UN. Menurut saya masih mau tidak mau, seleksi menggunakan nilai UN, karena kapasitas sekolah yang jauh lebih kecil dari jumlah lulusan.

Usulan Seleksi Zonasi:

  • 90% Zonasi -- berdasarkan nilai UN
  • 70%  - dalam zona
  • 10% - dari luar zona (maksimal, dan masuk apabila > nilainya dari yang dalam zona)
  • 10% - KETM (minimal, diranking dengan nilai UN)
  • 5% - prestasi
  • 5% - mutase

Dengan zonasi ini, sekolah akan lebih merata input lulusannya. Walaupun mungkin butuh waktu 5-10 tahun, untuk merata prestasinya, karena sekolah yang non-favorit, harus mengejar ketinggalannya dari sekolah favorit yang sudah  mapan.

Terus bagaimana dengan sistem Zonasi oleh PPDB Jabar 2019, yang memberlakukan Zonasi Meteran saat ini. Seyogyanya segera direvisi dan menggunakan penilaian UN sebagai penilaian seleksi, minimal meningkatkan kuota Zonasi Kombinasi dan Prestasi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun