“Kau membenciku?” pertanyaan itu terlontar begitu saja, dua kata yang aku yakin akan mendulang sedikit jawaban, tapi akan berakar ke pertanyaan lain yang tak akan habis.
Ia menggeleng. Lebih buruk dari pradugaku ternyata.
“Kau mencintaiku?” ini pertanyaan kartu as, seharusnya dikeluarkan nanti sebagai jurus pamungkas.
Ia diam. Matanya terpejam sebentar. Mulutnya bergeletar. Tapi tak ada satu pun suara yang keluar.
Sial, sungguh sialan! Bahkan kartu as yang kulemparkan sebagai umpan tak ia makan. “Aku ingin kita putus,” kutusuk steak setengah matang di depanku dengan penuh dendam dan amarah yang mulai menjalar.
Ia terkesiap. Wajahnya mendongak dari memandangi sendok dan garpu yang ia pegang.
“Kamu dengar? Aku ingin kita putus!” desisku. Kumajukan tubuh, menghimpit meja, wajahku mendekat ke wajahnya.
Ia menggeleng, pelan sekali seoalah-olah kepalanya akan menggelinding ke lantai jika ia bergerak terlalu banyak.
Aku semakin kesal. Ingin kutancapkan garpu di tanganku ke matanya yang bagai pendar. Atau kurobek mulutnya agar tak hanya terbuka dan terkatup sedemikian rupa seakan mengejekku yang mulai tak sabar.
“Bisa nggak sih kamu ngomong? Bukannya diam saja dari tadi. Kamu mau aku gila?” suaraku naik satu oktaf.
“Maaf, Mbak. Ada yang ingin Mbak pesan lagi?” seorang pelayan dengan seragam batik berwarna merah bata tergopoh menghampiri meja.