Mari berbicara tentang malam. Â Saat lampu-lampu taman dinyalakan, gelap berteduh di antara para pedagang kaki lima yang memenuhi perempatan. Larik-larik debu sisa tadi siang bergerombol di bawah atap langit, menyublim tanpa bekas seolah-olah mereka tak pernah ada. Barangkali begitu lah remah-remah bernama bahagia. Malam masih hujan, Sa. Setangkup pelukan buyar diguyur titik-titik air untuk kemudian jatuh berpeluh gigil. Â Namun apa yang kita cari sesungguhnya selain secangkir kopi dan uar hangatnya? Tak ada, Sa. Harapan sudah tertinggal jauh di belakang, dan kita selalu telat menyadari bahwa mereka telah benar-benar pergi. Malam tak pernah memiliki rumah ataupun tempat singgah. Persis seperti aku. Â Ya, aku yang menasbihkan diri sebagai anak semesta meski asa luka kerap kali timpang terburai di depan hati sendiri. Tapi tak pernah ada yang benar-benar terlepas meski siang kian meranggas. Kau lihat ujung gedung itu, Sa? Yang gelap dan basah dicumbui rinai. Â Barangkali aku akan berteduh di sana, hingga malam usai.
*
Ilustrasi diambil dari sini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H