(Tribute to Wiji Thukul)
Skylashtar Maryam
Hanya ada satu kata
Lawan…!*
*
Lihat itu, lelaki yang mulutnya dikunci oleh gembok-gembok tirani. Ia lah yang kelak akan kita kenang sebagai pahlawan hilang, tanpa pemakaman, tanpa nisan, tanpa penghormatan. Lelaki itu lah yang nanti akan menjadi saksi betapa negeri yang kita tinggali banyak berisi manusia-manusia pemakan bangkai bangsa sendiri. Manusia-manusia yang tidak memiliki nurani. Yang hatinya digadaikan atau dijual kepada setan-setan. Setan-setan berkepala bebal. Setan!
“Kita ini rakyat, Dek. Rakyat digariskan untuk melarat,” katanya, matanya menatap senja yang sebentar lagi lewat berganti malam jengat. Stasiun kereta api di seberang kami berjubel berbagai macam manusia yang bergegas, entah menuju kemana.
Bukit beton tempat kami minum kopi dirundung mendung. “Kami tertindas, Pak. Seharusnya Bapak lihat bagaimana nasib negeri kita sekarang,” aku menggertakkan gigi, kopiku dingin.
Mata lelaki itu berkaca-kaca. “Saya tahu… saya tahu.”
“Saya tak bisa diam, saya harus melawan,” tanganku terkepal.
“Dan berakhir di gorong-gorong dalam keadaan tidak bernyawa, atau dibuang ke tengah pulau entah di mana?” ia terkekeh.
“Bapak sarkastis dan pesimis,” aku mencibir.
“Saya realistis,” kekehnya berhenti. “Lihat itu!” jemarinya mengetuk-ngetuk kaca, menunjuk stasiun kereta di seberang jalan. “Hidup terus berlangsung meskipun para penguasa yang kamu bilang setan itu terus menikam rakyat, bahkan saling menikam di antara mereka sendiri.”
Kuteguk kopi, menoleh ke arah stasiun kereta api. “Mereka bukan tidak peduli…” gumamku. “Mereka hanya tidak tahu bagaimana cara untuk memperbaiki,” mataku memanas, dadaku terasa sesak dan getas, nyaris meledak.
Lihat itu, lelaki yang dari matanya lahir bara kini juga nyaris menangis. Ia lah lelaki yang direnggut dari istri, dari anak, dari keluarga, dari bangsa Indonesia yang hak-haknya kerap ia suarakan. Bagaimana tidak, negeri yang ia bela mati-matian kini semakin mengenaskan. Diisi (sekali lagi) para setan yang haus darah.
“Lalu kamu mau apa?” mata kanannya yang berbekas luka menatapku tajam.
“Saya ingin ada perubahan, di sini, di negeri kita tercinta ini,” aku kembali merayapi orang-orang yang berjejalan. Di stasiun seberang jalan, di pasar swalayan, di jalan-jalan. Wajah-wajah yang disetir oleh kaum kapitalis, menjadi semakin komsumtif dari hari ke hari.
“Apa yang bisa kamu lakukan untuk membuat perubahan?”
“Saya tidak tahu…” aku makin frustasi. Kujambaki rambut, menggigiti bibir, tanganku bergeletar pada cangkir kopi.
Ia terbahak. Keras dan padat.
“Bapak mengejek saya?” aku tidak suka dan tidak terima ditertawakan, apalagi oleh orang yang telah kujadikan panutan.
“Jangan tersinggung, tapi saya melihat mimpi-mimpimu untuk membuat perubahan itu adalah ide utopis yang akan tetap jadi mimpi jika tidak direalisasikan,” ia menggenggam tanganku. “Lakukan! Buat lah kerja nyata, jangan hanya bisa berkoar-koar tidak karuan.”
“Saya penulis, Pak. Bukan anggota dewan atau pegawai pemerintahan,” aku menunduk, memandangi ujung sepatu yang hampir koyak karena terlalu jauh dibawa berjalan.
“Maka menulis lah!” jemarinya hinggap di bahuku. “Menulis lah!” katanya lagi.
Lihat itu, lelaki yang selalu berada di garda depan ketika terjadi ketidakadilan. Ia yang suaranya lantang berteriak mendobrak segala tembok kekuasaan. Ia lah yang kelak hanya kita kenang sebagai nama dan sosok dalam buku dan surat kabar. Karena ia tidak pernah ditemukan, sampai sekarang.
“Saya takut, Pak. Saya sedih ketika mengingat Bapak,” aku kembali tergugu, bahuku naik turun tersedu.
Ia bersandar ke punggung kursi, matanya menerawang. “Dulu, saya juga takut. Saya takut anak dan cucu saya tinggal di negeri yang tak pantas dihuni. Maka dari itu, saya berjuang, tak pernah lelah berjuang.”
“Bapak lihat negeri kita sekarang seperti apa?” aku menunjuk koran di atas meja. “Bapak tahu negeri kita mau dibawa kemana?” telunjukku beralih ke layar kaca.
Ia tersenyum, menggeleng. “Tugas saya sudah selesai, Dek. Kalian lah yang muda-muda yang sekarang harus mengambil alih.”
“Pejabat kita korup, Pak. Pemerintah semakin menikam rakyat, bukan mengayomi seperti seharusnya. Kesenjangan sosial, kemiskinan, penurunan kualitas pendidikan, pelanggaran hak asasi manusia, segala macam kejahatan ada di Indonesia. Saya harus bagaimana?” kujambaki rambut lagi.
“Seperti yang sudah saya bilang tadi, menulis lah.”
“Saya bahkan tidak tahu apa yang harus saya tulis,” suaraku ditelan gelegak.
“Mengurusi negara adalah pekerjaan kolektif, Dek. Jangan simpan semua beban ini di bahumu untuk kamu tanggung sendirian. Lakukan saja apa yang bisa kamu lakukan. Ah, wajahmu sudah begitu muram, apa sih yang sedang kamu pikirkan?”
Aku menghela nafas. “Percaya lah, Bapak tidak akan mau tahu apa yang ada di dalam kepala saya.”
“Dengar ini!” ia mencondongkan tubuh. “Jangan pernah merasa bosan bersuara. Katakan apa yang harus dikatakan. Teriakkan apa yang harus diteriakkan. Akan selalu ada yang mendengar, akan selalu ada…”
“Tapi saya takut hilang dan dibuang seperti Bapak…”
Ia tertawa. “Akan lebih buruk kalau kamu mati tapi tidak meninggalkan apa-apa.”
“Saya tidak akan mati sekarang, tidak sebelum saya melawan. Dan saya akan terus melawan,” kataku dengan dada membusung.
Ia mengangguk. Matanya berpendar, tubuhnya juga berpendar. Senyumnya samar. Lalu ia menghilang ditelan kabut yang menguar.
Lihat itu, lelaki yang mulutnya telah lama dibungkam karena tidak mau diam. Lelaki itu lah yang akan abadi tidak hanya sebagai sosok yang mengguriskan tinta darah di sejarah negeri kita, melainkan lelaki yang akan selalu ada di dada setiap orang. Lelaki itu mungkin hilang, mungkin diculik dan dibuang. Tapi ia akan selalu lahir dari rahim-rahim peradaban di setiap jaman.
Lihat itu, lelaki yang langkahnya dijegal para penguasa berkelakuan tukang jagal. Lelaki itu lah yang telah meluruskan kata pahlawan dan perlawanan. Ia yang bersuara lantang tapi dibasmi dan kerap disalahkan. Korban kebusukan manusia-manusia setan. Setan yang sialnya mengaku negarawan.
Malam genap jengat beserta mendung yang menggelantung terpapar di luar jendela. Kumatikan netbook, menjejalkan buku puisi ‘Aku Ingin Jadi Peluru’ ke dalam ransel, membayar kopi, lalu melangkah pergi.
Aku turun ke jalan, berbaur dengan orang. Menerobos hujan. Banyak yang harus aku lakukan.
*
*penggalan puisi Widji Thukul yang berjudul ‘Peringatan’
(Markas Empayer Renjer Cabang Gasibu - Bandung, 22 Februari 2012)
- ilustrasi dipinjam dari sini
- lagu: Efek Rumah Kaca (Hilang)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H