Skylashtar Maryam
Mereka berkumpul, berdesakan di dalam ruangan pengap dan gelap berbau keringat. Satu-satunya cahaya adalah larik bulan yang malu-malu mengintip dari segaris tipis lubang ventilasi di dinding sebelah utara.
Ruangan itu juga sedemikian hening sehingga suara denting-denting gelas kopi dan derak kipas angin renta berpeluh jarring laba-laba di atas langit-langit terdengar begitu nyaring. Keheningan yang menekam itu pecah oleh suara batuk berat dan serak; suara laki-laki. Kemudian disusul oleh derap suara orang berbicara; berasal dari laki-laki yang sama.
“Kali ini kita tidak boleh gagal lagi. Sudah terlalu banyak korban berjatuhan. Kalau begini terus, entitas manusia hanya akan tinggal sejarah,” kata suara berat itu.
“Penyerangan yang lalu itu terlalu banyak kecerobohan dan kebocoran informasi di mana-mana, Bima. Pihak kita terlalu tolol dan banyak omong, kita lupa bahwa iblis memiliki jutaan mata dan telinga di mana-mana,” suara perempuan.
“Kau benar, Drupadi. Kita terlalu ceroboh,” kata laki-laki yang dipanggil Bima. “Nah, sekarang. Apakah ada di antara kita yang bermulut nyinyir seperti perempuan sehingga tak tahan untuk tidak berkoak seperti gagak di jalan-jalan? Jika ada, aku akan dengan senang hati menjahit mulut-mulut mereka.”
“Jangan menganalogikan kebocoran informasi dengan perempuan, Bima. Apa kau lupa bahwa aku ini perempuan?” suara perempuan, tapi bukan suara Drupadi.
“Ah, Arimbi. Maafkan aku. Dengar, kita harus menyusun rencana yang lebih matang. Tapi sebentar, aku ingin tahu tentang keadaan manusia-manusia yang tersisa. Apakah mereka aman di dalam bunker yang kita sediakan? Dorna, aku ingin laporan lengkapmu,” Bima menoleh kepada gelap.
Di ujung timur ruangan, seorang laki-laki bergerak sedikit, mereguk kopi di gelasnya. “Mereka aman, kukira. Persediaan makanan semakin menipis memang, tapi mereka pasti bisa bertahan. Yang terluka sudah berangsur pulih, yang sedikit gila sudah berangsur waras dan sadar. Mereka dijaga oleh prajurit Kurawa paling tangguh,” jelas Dorna.
“Bagaimana dengan manusia-manusia yang masih tertawan di luar sana?” tanya seorang laki-laki. Mereka memanggilnya Arjuna.
Dorna menggeleng di kegelapan. “Sulit,” katanya. “Terlalu banyak manusia yang terkontaminasi di luar sana. Kita tidak bisa begitu saja membawa mereka ke dalam bunker tanpa mengambil risiko menulari yang lain.”
Hening lagi. Dilema menjalar dari satu kepala ke kepala yang lain.
“Lalu apa yang akan kita lakukan sekarang?” tanya Arimbi.
Bima, berdehem sebentar. “Menurut pengamatan rekan kita Nakula dan Sadewa, iblis-iblis itu akan mengadakan sidang akbar di gedung bundar, tiga hari dari sekarang. Semua pemimpin dari berbagai penjuru negeri akan datang. Itu kesempatan kita, hancurkan semua pemimpinnya, dan prajurit-prajuritnya akan hengkang seketika.”
“Tapi bagaiamana caranya? Apakah kita akan menggunakan senjata yang sama? Aku tak yakin, sudah terbukti bahwa iblis-iblis itu kebal terhadap anak panah apapun yang aku lesatkan,” keluh seseorang, bahkan dalam kegelapan wajahnya berpendar. Bisma, sang pertapa.
Mereka terdiam. Teringat penyergapan dan penyerangan seminggu yang lalu. Ketika gada-gada, anak panah, pedang panjang, dan segala macam senjata hanya jadi bulan-bulanan di udara tanpa hasil nyata. Beberapa iblis mati, tapi kebanyakan korban bergelimpangan justru dari pihak mereka. Kereta-kereta perang mereka lantak berserak di punggung-punggung jalan.
“Bagaimana dengan kitab suci?” tanya Drupadi. “Iblis takut ayat-ayat di dalam kitab suci, bukan?”
“Senjata biologis,” Bisma mengangguk. “Tapi butuh waktu lama untuk meracik ramuannya. Dan aku berani bertaruh, tak ada satu pun di antara kita yang bisa membacanya.”
“Manusia-manusia itu bisa,” seru Dorna. “Aku pernah mendengar beberapa dari mereka membacanya dengan suara lirih sambil berurai air mata. Ya, aku juga mengakui, tak banyak dari mereka yang fasih membacanya, tapi kukira itu cukup.”
“Arjuna,” Bima memanggil rekannya. “Bisakah kau menangani ini? Maksudku, membuat ramuan dari kitab suci? Biar aku dan Rahwana yang menangani persenjataan.”
“Aku dan istriku bisa membantu,” seorang lelaki beringsut maju.
“Ah, Rama. Aku hampir lupa bahwa kau ada di sini.”
“Kau memang selalu lupa, Bima,” keluh Rama.
Bima terkekeh, tubuhnya yang menjulang terguncang-guncang. “Baiklah, begini rencananya….”
Ruangan pengap itu kini semakin pengap dengan suara-suara. Peta digelar, diterangi redup cahaya lampu senter seadanya. Rencana-rencana digulirkan, didebat, digodok, didiskusikan, diputuskan.
Senjata-senjata dipersiapkan, baju dan kereta perang diperbaiki dan diganti, prajurit-prajurit terbaik dilatih, diberikan penyuluhan, dan diambil sumpah untuk tidak membocorkan setitik pun informasi. Tokoh-tokoh terbaik dalam sejarah baratayudha direkrut dan diyakinkan. Manusia-manusia dalam bunker dipilah dan dipilih. Hafidz dan hafidzoh, ulama dan kyai besar, para pastor dan pendeta, para brahmana, biksu-biksu dari berbagai vihara, semua manusia terbaik yang bisa mereka kumpulkan disatukan di dalam ruangan. Ramuan kitab suci dipersiapkan dengan kecepatan dan ketepatan luar biasa.
**
Hari Jumat, tanggal 17 Agustus, Bima melirik almanak yang terpahat di dinding bunker. Ia membetulkan baju perang dan gada di tangan kanannya, meringis pada dinding.
“Cih! Kata siapa iblis tak bisa mati?” ia membusungkan dada, lalu melangkah keluar untuk bergabung dengan pasukannya.
Bima disambut oleh Dorna, Bisma, Arjuna, Rama, Nakula, Sadewa, Drupadi, Arimbi, Rahwana, dan pasukan lain yang menunggunya di kereta perang mereka. Manusia-manusia mengantar kepergian mereka di depan pintu bunker dengan derai air mata dan derap harap di dada.
“Bunuh dan bakar iblis-iblis itu dan kembalilah dengan selamat,” seru salah satu manusia.
Bima menyeringai sebentar, mengangguk, lalu memersiapkan pasukannya.
Mereka berangkat.
Teriakan, seruan-seruan perang, jerit kesakitan dan ketakutan berderai di gedung bundar ketika matahari tepat berada di titik kulminasi. Sayap-sayap hitam iblis berkelebat, cakar-cakar menghujam, taring-taring menggigit. Gada, pedang, semua anak panah dilepaskan, menancap pada dada merah darah atau di kepala bertanduk. Senjata biologis yang berasal dari ramuan kitab suci dipergunakan dengan hati-hati, menguar di udara dengan suara desis, melepuhkan kulit-kulit dan sayap iblis. Erangan, cacian, suara kerpak tulang-tulang berhamburan. Perang berangsur lama.
Mayat-mayat iblis bergelimpangan kemudian terburai cahaya jingga senja, menjadikan iblis-iblis itu sekam lalu larut ke pelimbahan. Iblis yang tersisa, kebanyakan hanya prajurit biasa lari atau bersembunyi. Mereka, Bisma dan kawan-kawannya bersorak sorai untuk kemenangan, untuk kejayaan. Manusia-manusia terselamatkan dari cengkraman iblis-iblis garang.
Seluruh negeri tenang, lengang.
Malam telah renta ketika mereka kembali berkumpul di ruangan yang sama, tapi kali ini cahaya berhambur dari lampu di atas langit-langit. Tubuh-tubuh lelah berkilau dengan keringat, beberapa berhias cabikan luka dan darah merah. Tapi dari mulut mereka tersungging senyum-senyum kemenangan.
“Iblis telah mati,” Arjuna tersenyum, bersandar di kursinya.
Bima juga tersenyum puas. “Manusia-manusia aman sekarang. Apakah ini sudah waktunya untuk kita….”
Ucapan Bima terpotong oleh seseorang yang menerobos pintu dengan nafas terengah-engah.
“Gawat! Ini gawat! Ini gawat!” seseorang itu terhenyak di lantai.
“Hei kau! Bicaralah dengan jelas, ada apa?” Nakula menghampiri seseorang yang baru datang itu.
“Iblis-iblis itu… bangkit kembali,” orang itu terengah. Matanya nyalang, tangannya serabutan mencakar udara.
“Apa maksudmu? Mereka telah kita bunuh seluruhnya,” Bima berkacak pinggang.
“Tidak, kali ini mereka berbeda,” geragap. “Manusia-manusia di luar itu, yang tidak sempat kita selamatkan ke dalam bunker kini berkumpul di gedung bundar. Anda harus lihat apa yang saya lihat, Tuan Bima. Mengerikan, begitu mengerikan,” orang itu bergidik dengan wajah penuh teror kengerian.
“Bicara yang jelas dan cepat!” Bima mengacungkn gadanya.
“Dengar, dari kepala manusia-manusia itu tumbuh tanduk, dari pantat mereka tumbuh ekor semerah darah, jemari mereka berkuku runcing dan geligi mereka kini bertaring. Kini mereka sedang membuat pemerintahan, menteri-menteri diangkat, anggota dewan disahkan, departemen-departemen disusun dan dibentuk. Dan coba tebak siapa yang mengisi jabatan-jabatan itu? Manusia-manusia yang kini berbentuk iblis.”
Dorna mengerang, teringat para manusia yang ia jaga di dalam bunker.
Bima juga mengerang, menghancurkan meja di tengah ruangan dengan gadanya. “Manusia-manusia bebal itu! Manusia-manusia bebal itu!” gigi Bima gemeletuk, memuntahkan kepundan amarah.
“Aku kira senjata dari ramuan kitab suci apapun tidak akan mempan untuk membunuh jenis iblis yang satu ini, mari kita pergi saja, biarkan mereka menangani urusan mereka sendiri,” Drupadi menyilangkan tangan di dada, rautnya setenang telaga.
Mereka pun sepakat pulang, hilang dari ruang, meninggalkan para manusia kebingungan di dalam bunker. Meninggalkan iblis-iblis baru di gedung bundar. Tak ada lagi yang bisa mereka lakukan. Iblis memang tak pernah bisa mati.
*
Kuseruput kopi, memalingkan wajah dari tabung televisi berisi ilusi, mencampakkan surat kabar berisi berbagai berita penjagalan ke tempat sampah. Jemariku berhenti menari di atas keyboard, tercenung, merenung.
“Bagaimana caranya membunuh iblis-iblis?” gumamku, melirik pantulan diriku sendiri pada cermin di dinding. Seorang perempuan menatapku di dalam sana. Di keningnya ada tanduk serupa badak, geliginya tersembul, bertaring runcing.
Derak kipas angin renta di atas langit-langit terdengar konstan, larik cahaya bulan malu-malu menerobos segaris lubang ventilasi di sebelah utara kamar yang pengap dan gelap.
(Bandung, 18 Juni 2012)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H