“Teh, tolong belikan Rinso,” kata Ibu suatu hari.
Ketika saya membawakan merk detergen yang dimaksud, Ibu malah mengerutkan kening dan menyuruh saya membeli merk yang lain. “Rinso Attack,” katanya.
Ya, yang dimaksud Ibu adalah detergen merk Attack, bukan detergen merk Rinso. Di dalam masyarakat Indonesia, sebuah merk produk memang bisa menjadi bahasa sehari-hari yang mengacu kepada benda tertentu tanpa menyadari bahwa nama benda tersebut bukanlah itu. Barangkali juga hal itu disadari tapi sangat sulit mengubah kebiasaan karena hal itu akan memengaruhi efektifitas komunikasi. Memang, tidak semua orang sadar atau mengetahui bahwa Rinso adalah merk detergen, bukan nama benda.
Ini dikarenakan dahulu, ketika perekonomian Indonesia belum sepesat sekarang dan berbagai produk di pasaran belum memiliki banyak variasi, masyarakat hanya memiliki sedikit sekali pilihan. Misal, untuk detergen, hanya ada merk Rinso, maka Rinso kemudian lumrah disebut untuk mengacu kepada detergen. Hal ini berlaku dari tahun ke tahun, dari generasi ke generasi.
Ternyata, salah kaprah seperti ini bukan hanya berlaku bagi detergen, juga berlaku bagi barang-barang lainnya. Odol misalnya, kerap kali disebut untuk mengacu kepada pasta gigi, padahal Odol adalah merk pasta gigi di tahun 80-an dan sekarang sudah tidak beredar lagi. Softex, digunakan untuk mengacu kepada pembalut padahal sama seperti dua benda di atas, Softex adalah merk pembalut.
Sandal Swallow digunakan untuk sandal jepit. Swallow itu adalah merk sandal jepit, bukan nama bendanya. Honda di beberapa daerah tertentu mengacu kepada sepeda motor. Kijang, lebih sering digunakan untuk menyebutkan jenis mobil daripada arti yang seharusnya; merk mobil keluaran Toyota.
Ada lagi yang menarik, di Batam sebelum tahun 2006, jika ada orang yang mengatakan atau bertanya tentang nomor BM, itu bukan berarti black market seperti idiom yang seringkali kita dengar. Nomor BM artinya plat nomor kendaraan pada waktu itu (sekarang BP). Lucunya lagi, setelah sekarang plat nomor Batam diganti dengan BP, ternyata masih saja ada yang menggunakan BM untuk menyebut plat nomor.
“BM motor saya adalah BP 1169 XP.”
Sama halnya dengan perkataan Ibu saya di atas, padahal sudah jelas-jelas bahwa plat nomornya berawalan BP, bukan BM.
Salah kaprah dalam menggunakan bahasa Indonesia seperti ini sudah berlangsung sangat lama, mungkin sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu karena seingat saya merk-merk itu sudah digunakan untuk menyebutkan nama benda bahkan sejak saya kecil. Lantas, apakah bahasa yang digunakan secara salah kaprah seperti ini harus kita biarkan saja? Tentu saja tidak, karena dikhawatirkan bahasa Indonesia sendiri akan hilang atau digantikan dengan bahasa-bahasa yang tidak semestinya.
Biasakanlah menggunakan bahasa yang benar di dalam percakapan sehari-hari agar salah kaprah itu sedikit demi sedikit berkurang bahkan hilang. Atau bisa juga seperti yang saya lakukan; mengartikan kata-kata salah kaprah itu secara harafiah. Jika ada orang yang mengatakan Softex untuk pembalut, maka saya akan menganggapnya pembalut merk Softex. Kadang lawan bicara saya kesal atau mencibir dan mengatakan saya terlalu meributkan hal-hal kecil. Entahlah, bagi saya salah kaprah dalam percakapan itu begitu mengganggu, sama halnya dengan salah eja di dalam tulisan.
Ya, kalau tidak dimulai dari sekarang, maka ditakutkan bahasa salah kaprah itu akan terus berakar dan semakin sulit untuk diluruskan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI