Perempuan Indonesia yang berhasil duduk di kursi kekuasaan masih bisa dihitung jari. Misalnya, Megawati yang pernah menjadi RI I, Ratu Atut Chosiyah, gubernur Banten. Rustriningsih, mantan bupati Kebumen yang sekarang menjabat sebagai Wakil Gubernur Jawa Tengah mendampingi Bibit Waluyo, dan sederet nama lain.
Bagi Jawa Barat, memiliki pemimpin perempuan adalah hal yang baru, meski sepertinya bukan hal yang tabu. Ini terbukti dengan menjabatnya Anna Sophanah sebagai bupati Kabupaten Indramayu untuk masa jabatan 2010-2015. Hal ini juga menunjukkan bahwa di tengah budaya patriarkal yang sangat kental, ada semacam kesadaran yang mulai tumbuh di masyarakat Jawa Barat bahwa perempuan tidak hanya berkutat di urusan dapur, sumur, dan kasur.
MASIH TANTANGAN BESAR UNTUK RIEKE
Rieke, sebagai satu-satunya cagub perempuan yang akan bertarung di ajang Pilgub Jabar Februari 2013 mendatang akan mendapatkan tantangan yang lebih besar daripada lawan-lawannya nanti. Bukan hanya persoalan-persoalan semacam visi dan misi yang akan ia hadapi, melainkan juga isu gender yang meski ‘dikolongmejakan’ namun tetap mencuat secara diam-diam.
Perempuan kelahiran Garut, 8 Januari 1974 ini memang tidak terfokus hanya pada persoalan perempuan melainkan lebih berkonsentrasi terhadap isu-isu sosial yang memang lebih penting untuk ditanggapi daripada kemelut emansipasi. Buruh, nelayan, harga pasar, tarif listrik, petani, bahkan ekologi menjadi titik berat dari kampanye Rieke akhir-akhir ini. Ini langkah cerdas menurut saya, sebab jika masyarakat Jabar kembali diingatkan tentang gender, maka ia harus bersiap kalah.
Penduduk Jabar yang berjumlah kurang lebih 46,5 juta jiwa dengan 51,15 persennya laki-laki, ditambah dengan budaya patriarkal di masyarakat Sunda, juga penilaian terhadap politikus perempuan yang sering kali dinilai dari ‘casing’ bukan dari isi kepala menjadikan perjuangan Rieke bertambah berat.
Meskipun kesadaran berpolitik dan objektivitas pemilih sudah tinggi, namun dalam masyarakat Sunda, perempuan sulit diterima sebagai pemimpin dibandingkan dengan laki-laki. Bahkan, di mata perempuan sendiri. Ada semacam peraturan tak kasat mata dalam masyarakat Sunda bahwa perempuan sejatinya adalah pendamping laki-laki, tidak bisa sebaliknya. Ada jejak sejarah berkenaan dengan ini, yakni penobatan Pangeran Santri sebagai penguasa Sumedang pada pertengahan abad ke-16. Padahal, jika dilihat dari silsilah keluarga, yang seharusnya menjadi penguasa Sumedang adalah Ratu Pucuk Umun karena ialah putri raja sebelumnya sedangkan Pangeran Santri adalah menantu. Sejarah tersebut kemudian menjadi warisan kesadaran yang sampai hari ini mungkin masih terpelihara. Bahwa orang Sunda tidak lantas akan dengan mudah memberikan posisi kekuasaan kepada perempuan, meskipun tampuk kekuasaan itu sebenarnya menjadi pantas disandang perempuan.
Rieke tentu siap menjabat sebagai gubernur Jabar, tapi ada satu pertanyaan besar di benak saya. Siapkah Jabar memiliki gubernur perempuan?
_____
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H