Mohon tunggu...
Langit Amaravati
Langit Amaravati Mohon Tunggu... lainnya -

An author\r\nhttp://langit-amaravati.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Burung Bapak

7 Maret 2012   09:42 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:24 1585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika saja tidak takut Bapak murka, tentu saya akan dengan senang hati membunuh burungnya.   Saya seringkali membayangkan menelikung leher burung yang panjang dan berbulu tebal itu kemudian mengguriskan pisau maha tajam.  Sedikit demi sedikit hingga burung itu muntah di tangan saya, kalau perlu sampai muntah darah.

Tapi Bapak begitu gagah, bertubuh besar, dan berlengan kekar.   Sekali tampar, mungkin saya bisa pingsan.  Maka saya merutuk dan mencaci diam-diam tanpa bisa menolak ketika saya harus memasukkan burung Bapak setiap senja dan mengeluarkannya kembali setiap pagi.

Burung Bapak kerap mengintai saya di ruang tamu, di ruang tivi, bahkan sampai ke kamar mandi.  Paruhnya yang bermoncong lancip itu menyisik biji-bijian lalu memuntahkannya ke muka saya, ke kepala saya, sesekali ke pangkuan saya yang sebelumnya tengah belajar.   Saya kesal, saya geram, saya ingin membunuhnya.  Dengan pisau maha tajam.

Jika malam hari, ketika Ibu sudah tidur dan saya mengetik cerita di ruang tivi, burung Bapak selalu berusaha mengganggu.  Bercericip mengejek saya yang masih sendirian meski usia saya sudah memasuki usia pantas pacaran.  Gadis-gadis seusia saya yang lain biasanya tengah bercengkrama di mulut gang sambil dangdutan diiringi petikan gitar para pemuda.  Tapi saya diam di rumah, mengetik cerita demi cerita sambil diganggu burung Bapak.

Burung Bapak itu selalu bertambah liar jika setiap orang di rumah sudah tidur.  Selain mengejek dengan cericipnya yang di telinga saya menjadi koak gagak, ia juga kerap mandi di atas saya.  Air menciprat ke atas kepala saya, ke muka saya, ke dada saya.  Alhasil, tulisan saya tidak pernah selesai.   Selalu saja berhenti dengan adegan saya cepat-cepat menyimpan file di netbook lalu berlari ke kamar mandi untuk membasuh air kotor bekas mandi burung.  Di dalam kamar mandi pun, saya masih bisa mendengar burung itu terkekeh, semakin mengejek kesendirian saya.  Saya semakin kesal.  Saya semakin ingin membunuhnya.

Tapi itu belum seberapa jika dibandingkan dengan penderitaan saya di siang hari.  Ibu bekerja di sebuah warung makan di pinggir jalan besar.  Otomatis, setiap pulang sekolah saya selalu sendirian di dalam rumah.  Tidak ada yang memperhatikan kebutuhan burung Bapak kecuali saya.   Kata Bapak, itu sudah kewajiban saya sebagai anak semata wayang, anak tiri pula, hasil perkawinan Ibu dengan laki-laki sebelum Bapak.

Setelah berganti seragam, makan siang, dan beristirahat sebentar, saya harus segera mengurusi burung Bapak yang manja.  Memandikan, memberi makan, memastikan bulu-bulunya bersih dari segala kotoran.  Ketika saya membuka sangkarnya dan membersihkan biji-bijian yang berserakan, saya selalu tergoda untuk berlari ke dapur lalu mengambil pisau dan menggorok lehernya yang berbulu tebal.  Ah, tapi saya takut.  Saya masih takut Bapak yang bertubuh besar dan berlengan kekar itu menampar saya hingga pingsan.

Saya tidak bisa belajar, saya tidak bisa mengerjakan tugas sekolah, saya tidak bisa apa-apa kecuali membersihkan bekas muntahan biji-bijian yang berserakan hampir di seluruh rumah.  Bapak kejam!  Saya hanya bisa merutuk.

Sebetulnya, perihal burung yang nakal dan manja ini sudah saya beritahukan kepada Ibu, tapi tanggapan Ibu sedemikian membuat saya kesal.

“Bagi Bapak, burungnya itu lebih berharga daripada kamu, Neng.  Sabar lah sedikit.  Lagipula, dari burung Bapak itu, kamu bisa tetap sekolah, bukan?  Jadi turuti saja apa kemauan Bapakmu,” kata Ibu.

Ah, Ibu yang dungu, atau saya yang sudah terlalu terganggu?  Bagi saya kini, Ibu bukan lagi sekutu melainkan seteru.  Tidak ada lagi orang di rumah yang bisa membela saya dari kebiadaban burung Bapak.  Sialan!

Ternyata Bapak tidak pernah puas dengan satu burung saja, maka jika hari libur ia mengundang teman-temannya yang juga membawa burung dengan jenis berlainan.  Ada yang berbulu hitam, abu-abu, bahkan beberapa dengan bulu  lebih cerah yang di mata saya sama sekali tidak indah.  Mereka, Bapak dan teman-temannya, saling memamerkan burung dan tertawa-tawa di depan saya.  Sial bagi saya yang tidak pernah pergi kemana-mana jika hari libur, maka tugas saya lah untuk membikinkan kopi dan penganan bagi teman-teman Bapak itu karena Ibu selalu pergi menjadi buruh cuci jika hari libur.

Bapak tidak pernah marah meski saya kerap ikut merokok bersama mereka, walau  saya masih duduk di bangku SMU, perempuan pula, anehnya Bapak tidak pernah melarang, atau barangkali tidak peduli.  Asalkan burungnya dan burung teman-temannya tidak kekurangan suatu apapun.

Pesta burung di hari libur membuat saya kecipratan sial yang lebih sial.  Meski ketika berpesta, burung-burung itu tidak diletakkan di atas kepala saya melainkan di lantai, tapi tetap saja saya yang ketiban sial.  Saya harus bolak-balik ke kamar mandi, mengambilkan air bersih untuk mereka mandi.  Setelahnya saya juga harus menyapu dan mengepel lantai karena Bapak maupun Ibu tidak suka melihat jika ada muntahan bekas biji-bijian berserakan.  Satu burung saja sudah membuat saya kesal, apalagi ditambah dengan burung teman-teman Bapak.  Coba bayangkan, berapa banyak energi yang harus saya habiskan?  Berapa banyak pisau yang harus saya gunakan untuk membunuh mereka?

Ketika Bapak menambah jumlah burung di rumah, saya tidak tahan lagi.  Rumah saya sudah seperti peternakan yang dihuni berbagai jenis burung, berbagai jenis kelamin burung.  Dan satu-satunya orang yang harus melayani mereka adalah saya.  Bukan Ibu, karena Ibu tentu saja bekerja.

Burung-burung manja itu semakin menguntit saya dengan cericip ejekannya, memborbardir saya dengan muntahan biji-bijian, menciprati saya dengan air mandi penuh kotoran.  Saya tidak bisa lagi belajar, saya tidak bisa lagi menulis, saya tidak bisa lagi diam.

Saya harus bertekad, saya harus kuat.  Saya tidak mau lagi dijajah oleh burung Bapak.  Saya semakin bernafsu untuk membunuh, menggorok leher burung Bapak yang berbulu tebal.  Tapi, ah, saya manusia beradab yang meski kesal tentu saja masih memiliki nurani. Maka saya melepaskan mereka dari sangkarnya satu per satu.  Biar burung-burung manja dan nakal itu terbang bebas di angkasa.  Biar mereka bisa mandi sendiri, mencari makan sendiri, dan tentu saja tidak mengganggu saya dengan sisa biji-biji bekas makanan mereka.

Dan benar saja, Bapak murka ketika pulang dan mendapati burung-burung tercintanya sudah tidak bercokol di sangkar.  Tidak satupun.  Bapak menyeret saya, mencengkram lengan saya dengan jemarinya yang besar dan kasar.

“Kamu kemanakan burung-burung itu, hah?” kumis tebal Bapak naik turun sangking amarah.

“Saya lepaskan semuanya,” jawab saya lugas.  Tanpa perasaan bersalah.

“Anak kurang ajar!  Burung-burung lakbet dan kenari itu harganya mahal, goblok!”

Lalu,  plak!  Tangan kekar Bapak menampar saya.

Saya pun pingsan.

**

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun