Mohon tunggu...
Langit Amaravati
Langit Amaravati Mohon Tunggu... lainnya -

An author\r\nhttp://langit-amaravati.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[KCV] Cinta Itu Luka

14 Februari 2012   13:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:39 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

yang tak akan sanggup kau eja

Hanya menua digilasi

prasangka

Lamur matamu berjamur kutukan cermin-cermin,

dengan aku selalu memantul pada pupil

dengan matamu yang selalu berair

-MATAHUJANMATA; Skylashtar Maryam-

*

Sesorean ini berada dalam kembara, sebuah perjalanan astral karena mobil yang kutumpangi  nyaris tak bergerak dihadang macet.  Bandung menyerupai Jakarta, sudah!

Tapi di kepalaku berjejalan lagu cinta dalam berbagai versi, soundtrack yang tepat untuk senja dan hujan.  Entah karena hujan itu, atau karena macetnya, atau karena lagu-lagu cintanya, otakku menstimulasi hati hingga timbul satu kata yang sejak beberapa hari ini tengah mati-matian kuhindari: sakit.

Rasa sakit itu seperti kutu rambut atau bakteri yang bisa tiba-tiba ada lalu berkembang biak tak terhingga, dan akan selalu ada.  Memang sial, sang sakit yang beranak luka itu kini menggurati dada seolah tubuhku adalah rumah ia sebenarnya.  Mungkin satu-satunya jalan adalah melupakan atau berdamai, tapi aku ingin sekali menangis. ingin sekali menumpahkan pisau galau dari mataku.

Semakin aku mencoba untuk menahan, namamu semakin mengental.  Kemudian merangkul ingatan demi ingatan dan menghadirkannya seketika itu juga.

Brama, namamu adalah lima huruf yang sanggup menjantera kenangan hingga bertransformasi pada rasa yang ragu untuk kuberi nama.  Rasa yang bisa aku kecap, tapi lidahku seketika buta karena rasa itu sendiri berubah-ubah dari hangat ke perih, dari luka ke air mata.  Ah…

Senja yang kuyup dalam geripis, beramai-ramai di dalam bis, tapi  aku larut dalam sendiri yang membuat hatiku semakin nyeri.  Hujan ini lah yang dulu menemani kita ketika kamu mengucapkan kata cinta.  Cinta waktu itu begitu indah, sedangkan kini menyaru jadi hantu prahara.

Hujan.  Dan aku semakin ingat kamu.

Kamu yang gagah, kamu yang tampan, kamu yang selalu memotong kuku setiap tiga hari sekali, dan kamu dengan uar after save setiap kali kita bertemu. Ya, kamu yang itu.  Sore ini, dengan berat hati kuhadirkan lagi rasa sakit itu.

“Maafkan aku…” kamu tergugu, bersimpuh di hadapanku.

“Jangan meminta maaf untuk sesuatu yang bukan salah kamu,” suaraku lebih tenang, kuletakkan tangan di atas bahumu.

Tapi kamu semakin tergugu.  “Aku mencintai kamu, Fey.  Sungguh….”

“Dan sekarang kamu mencintainya.”

Tangismu berderai.  “Kamu nggak sakit hati, Fey?”

“Apa itu harus?”

Kamu menunduk.  “Kenapa cinta memilihkan jalan ini untukku?”

Kuraih tanganmu dan menggengamnya.  “Cinta tidak memilihkan jalan ini untuk kamu saja, Bram.  Cinta juga memilihkan jalan ini untuk aku.  Kamu tahu aku sakit, tapi aku juga tahu bahwa kamu jauh lebih sakit.  Aku tak bisa memaksa kamu untuk terus mencintai aku sementara hati kamu sendiri justru lebih merana,” kukecup telapak tanganmu.  “Bram… kamu adalah laki-laki paling mengagumkan  yang pernah aku cintai.  Perlu kamu tahu, dengan kamu memilih jalan ini, bukan berarti cinta itu hilang.”

Tangismu bertambah pecah.  Suaramu nyaris hilang ditelan geleguk.  “Andai saja dari dulu aku menceritakan ini sama kamu.  Mungkin kamu tidak akan sesakit ini, Fey.”

“Bram…” bisikku.  “Motivasi apapun yang kamu punya ketika mengajak aku pacaran, aku tak pernah ambil pusing.  Mengenal kamu, menjadi pacar kamu, merasa memiliki kamu selama tiga bulan belakangan ini sudah cukup bagiku,” tanganku menangkup di pipimu.

“Maafkan aku karena telah membohongi kamu dan semua orang.  Tapi aku tak mau lagi membohongi diriku sendiri.”

“Bukankah itu yang lebih penting?” kuhapus air matamu.

“Kamu adalah perempuan paling baik hati.  Seandainya saja aku bisa tetap mencintai kamu sebagai laki-laki.  Seandainya saja aku bisa berpaling dari Wisnu,”  kamu bangkit kemudian duduk di sampingku.

“Terima kasih, Bram.”

“Sekali lagi aku minta maaf,” kamu menggenggam tanganku.

Tidak ada getar-getar yang dulu sempat kurasa.  Yang ada hanyalah hangat, seperti genggaman seorang sahabat.

Kuremas jemarimu.  “Sampai kapanpun, jangan kira aku setuju dengan jenis cinta yang kamu punya.  Tapi sepanjang kamu bahagia, persetujuan aku tidak lagi penting.”

“Tapi apakah masih ada tempat bagi pasangan sejenis seperti kami di dunia ini, Fey?” matamu menerawang kepada bintang-bintang.

Aku menggeleng.  “Aku tidak tahu.  Karena bagiku cinta selalu memiliki tempat di manapun.”

“Bantu aku menghadapi kemurkaan semua orang, Fey…”

Kutangkupkan kembali tanganku di wajahmu.  Ah, Bram.  Kamu masih mengagumkan.  “Kamu bisa kembali kepadaku kapan saja kamu mau.  Aku akan membantu kamu sepanjang kemampuanku.  Tapi tolong, sekali lagi, jangan jadikan ini sebagai pembenaran.”

Kamu mendekat.  Mencium pipiku sekilas.  “Terima kasih, Fey.”

Ciuman itu masih melekat.   Ternyata masih mendatangkan getaran hebat.   Tapi kenapa hati ini menjadi sedemikian penat?

Kita berdua saling berpegangan tangan, mengucap janji untuk selalu berhubungan.  Sebuah senyuman dihantarkan, sebuah jabat tangan diulurkan.  Kemudian kita menuju jalan yang berbeda ketika pulang.  Pulang sebagai mantan kekasih dengan hati yang perih.

Kembara senja berlanjut menuju malam larut... dan luka itu masih di sana; bersemayam di dalam dada.  Mungkin kamu tidak tahu, Bram.  Dan aku tidak ingin kamu tahu.

oOo

Binarnya meluruh, dengan gradasi yang nyaris sempurna. Luka itu, aku menangkapnya samar. Aku kesulitan mencarinya di tatapanmu. Ah, Fey. Mengapa tak kamu caci saja aku? Kamu berhak, bahkan jika kamu mencemoohku. Atau jijik sekalipun. Aku lebih siap menerima semua itu ketimbang pengertianmu. Kamu tahu, sangat tahu. Aku tak pernah sanggup melihatmu menangis. Atau itukah yang kamu paksakan?

Aku mencintaimu, Fey. Hanya saja, tak sama dengan cinta yang sebenarnya. Entah apa. Bersamamu aku bisa menikmati tawa. Menggulung senja dan larut di tempias hujan, aku menikmatinya, Fey. Tapi cinta yang sebenarnya, menuntut lebih. Lebih dari sekadar kamu ada di sisiku dan aku pun sama.

Bagiku itu salah. Karena kita laiknya dua orang anak kecil yang beringsut manja, bergelayut pada topangan masing-masing yang ternyata tak beda. Aku tak bisa menjadi penopangmu, Fey. Kita tak bisa saling bertopang pada kerapuhan yang sama. Jadi kurasa, kita lebih cocok bersahabat, bukan menjadi sepasang kekasih. Maafkan aku.

oOo

Cinta. Dalam desah tanpa gemerisik ia berbisik. Seolah tak ada yang salah. Selalu ditemukannya ruang, bahkan dalam abstraksi tak berdimensi sekalipun. Ia mengerling di sudut-sudut geliat jiwa meresah, mencumbui setiap celah pada gilirannya merasuk. Apakah ia tak salah mengetuk?

Lewat petang, dan area food court masih sepi. Kedai kopi di ujung kanan juga belum terlalu ramai.

“Nu. Ini Fey, yang sering kuceritakan itu,” Bram menepuk pelan punggung Fey yang sedari tadi lengannya bertengger di sana. Tangan Wisnu terulur menyambut Fey. Lalu diambilnya tempat duduk di hadapan gadis itu. Sebentar saja, dan semua melumer tanpa jengah.

Dan waktu lalu saja. Tatkala seketika dan kemudian jadi biasa-biasa yang terus bersambungan. Fey menemukan iramanya. Tentang Bram. Sekelumit hatinya tak pernah mempertanyakan, siapakah Bram kini. Mantan kekasihnyakah? Sahabatkah? Toh hari tak pernah lalu tanpa Bram. Walau juga Wisnu. Ah, siapa peduli selain hatinya sendiri?

Tak juga Bram. Telah dibolak-baliknya hati, dan selalu yang ia temui hanyalah bahwa, tak ada yang terpaksa. Bukankah ia dan Fey bersepakat, cinta tak akan hilang? Lantas untuk apa dipertanyakan bagaimana mereka kini, jika ia tak harus kehilangan Fey sebagai sahabat? Apa bedanya dengan mantan kekasih jika semua seolah sama saja? Cintanya yang lain, Wisnu, adalah berbeda. Ia ada di tempat yang selayak Bram menempatkannya. Cukup begitu saja.

oOo

Senja menua dalam balutan geripis hujan. Lajur-lajur alirnya bergelombang di sisi-sisi jendela yang mengembun. Dingin seolah beku hendak mencengkeram. Puncak, dan Bram benar-benar merasa berada di awang-awang dengan Wisnu sebagai pawangnya. Ini kesalahan ke sekian. Bram, Wisnu, dan Feya.

Namun cinta senantiasa menemukan muara masing-masing tanpa bisa dikendalikan.  Ia mengalir laksana air, kadang petir.  Sebab cinta tak pernah memilih, kepada siapa ia akan menikamkan belatinya.

“Maaf, tapi aku mencintainya, Bram.”

“Apa? Nu, apa maksudmu?” Bram bangkit dari duduknya. Dadanya naik turun, sepayah ia berusaha menahan amarah yang hampir muntah.

“Aku mencintainya. Ya, aku mencintai Feya.”

“Tidak! Itu salah. Kau tak bisa… Kau seharusnya mencintai aku.”

“Aku bisa, Bram! Aku mencintainya…” Wisnu beringsut. Diraihnya tangan beku Feya.

“Cukup! Hentikan. Jangan bicara lagi!”

“Bram, aku… aku…maafkan aku…” Feya tak bisa lagi berdiam. Bukankah ia tak punya pilihan? Jatuh cinta pada Wisnu, apanya yang salah? Karena Wisnu pacar Bram?

“Kamu mencintainya juga, Fey?” suara Bram meradang. Nanar diejanya raut Feya. Inikah sakit yang harus ia bayarkan?

“Aku… Ya.” Lirih. Lirih saja. Entah perih, entah lepasan lega.

Bram menyeringai. Sebuah revolver 44 digenggamnya.

“Cinta selalu memiliki tempat di mana pun. Omong kosong! Karena cinta bahkan tak tahu di manakah tempatnya! Jadi kukatakan. Cinta, di sinilah tempatnya. Abadi!”

“Apa yang kau lakukan, Bram? Jangan gila!” Wisnu beranjak. Seketika langkahnya terhenti. Revolver itu mengarah padanya. Satu peluru menyambutnya.

“Kau gila, Bram!!” Feya menghambur. Dipeluknya tubuh Wisnu yang basah memerah. Tubuhnya gigil. Satu-satu nafasnya melemah. Lunglai.

Lengan Fey mengejang. Dipaksanya berdiri. Ia yang harus menghentikan Bram. Tapi Bram lebih sigap. Dua peluru masih tersisa. Satu untuk Fey. Satu untuk dirinya sendiri.

Malam berselimut beku. Seperti waktu yang terhenti, untuk cinta yang salah mengerti. Cinta yang hanya bisa melukai.

karya peserta lainnya, bisa dilihat di sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun