Mohon tunggu...
Andhika Brata
Andhika Brata Mohon Tunggu... Mahasiswa - S1 Ilmu Komunikasi

Mahasiswa Ilmu Komunikasi.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

PPN Naik Jadi 12%: Solusi untuk Ekonomi atau Ancaman bagi Daya Beli Rakyat?

7 Januari 2025   16:30 Diperbarui: 7 Januari 2025   16:26 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 10% menjadi 12% yang direncanakan oleh pemerintah telah menjadi topik diskusi panas di berbagai kalangan. Langkah ini dianggap sebagai upaya pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara, khususnya di tengah kebutuhan pembiayaan yang semakin mendesak pasca pandemi COVID-19. Namun, di sisi lain, kebijakan ini menuai kritik karena dinilai dapat membebani masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah, dan menekan daya beli mereka. Artikel ini akan membahas dua sisi utama dari kebijakan kenaikan PPN ini: apakah kebijakan ini dapat menjadi solusi untuk memperbaiki ekonomi, atau justru menjadi ancaman bagi kesejahteraan masyarakat.

Alasan di Balik Kenaikan PPN

Salah satu alasan utama kenaikan tarif PPN adalah untuk meningkatkan penerimaan pajak negara. Menurut data Kementerian Keuangan, kontribusi PPN terhadap pendapatan negara cukup signifikan, mencapai sekitar 40% dari total penerimaan pajak. Dengan menaikkan tarif PPN menjadi 12%, pemerintah berharap dapat meningkatkan penerimaan negara secara substansial untuk mendanai berbagai program pembangunan, termasuk infrastruktur, kesehatan, dan pendidikan.

Selain itu, kenaikan PPN juga dianggap sebagai langkah strategis untuk memperbaiki struktur perpajakan di Indonesia. Saat ini, rasio pajak Indonesia masih relatif rendah dibandingkan negara-negara lain di kawasan Asia Tenggara, seperti Thailand dan Malaysia. Dengan meningkatkan tarif PPN, pemerintah berupaya untuk mempersempit gap tersebut sekaligus menciptakan sistem pajak yang lebih berkelanjutan.

Kenaikan tarif PPN ini bukan tanpa dasar hukum. Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang disahkan pada tahun 2021 memberikan landasan hukum bagi kenaikan tarif PPN. Langkah ini juga sejalan dengan upaya pemerintah untuk mendorong reformasi perpajakan secara menyeluruh, yang mencakup perluasan basis pajak dan peningkatan kepatuhan wajib pajak.

Kenaikan tarif PPN dipandang sebagai respons terhadap tantangan ekonomi global yang semakin kompleks. Ketergantungan Indonesia pada sektor komoditas membuat perekonomian domestik rentan terhadap fluktuasi harga di pasar internasional. Dengan meningkatkan penerimaan pajak dari konsumsi, pemerintah berharap dapat menciptakan stabilitas fiskal yang lebih kuat untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi di masa depan.

Dampak Terhadap Daya Beli Rakyat

Pada kebijakan kenaikan PPN ini memunculkan kekhawatiran yang cukup besar terhadap daya beli masyarakat. PPN merupakan pajak konsumsi yang dikenakan pada hampir semua barang dan jasa, sehingga kenaikan tarifnya akan langsung dirasakan oleh konsumen. Harga barang dan jasa akan meningkat, yang pada akhirnya dapat mengurangi daya beli masyarakat, terutama kelompok ekonomi bawah yang mengalokasikan sebagian besar pendapatan mereka untuk konsumsi.

Menurut survei yang dilakukan oleh Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM), kenaikan tarif PPN berpotensi meningkatkan tingkat inflasi. Sebagai ilustrasi, kenaikan tarif PPN sebesar 2% diperkirakan dapat mendorong inflasi hingga 1,5%. Hal ini dapat memperburuk kondisi ekonomi masyarakat yang sudah tertekan akibat pandemi, terutama bagi mereka yang kehilangan pekerjaan atau mengalami penurunan pendapatan.

Jika kebijakan ini juga dapat memengaruhi sektor usaha kecil dan menengah (UKM). UKM sering kali menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia, tetapi kenaikan tarif PPN dapat meningkatkan biaya operasional mereka. Akibatnya, daya saing UKM di pasar bisa menurun, yang pada gilirannya dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.

Tidak hanya itu, sektor konsumsi yang menjadi motor penggerak perekonomian Indonesia juga berpotensi mengalami perlambatan. Penurunan daya beli masyarakat dapat menekan permintaan barang dan jasa, yang pada akhirnya berdampak pada pertumbuhan sektor industri dan perdagangan. Kondisi ini dapat memperlambat pemulihan ekonomi yang sedang diupayakan setelah krisis akibat pandemi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun