Satu malam di sepuluh hari terakhir bulan Ramadan dipercayai sebagai malam lailatul qodar. Malam dimana para malaikat turun ke bumi membawa berkah dan rahmat Allah Swt kepada para hamba-Nya yang khusyuk melaksanakan serangkaian ibadah di hari/malam itu.
Di waktu sepuluh hari terakhir itu pun, lailatul qodar dirinci lebih spesifik waktunya, yaitu konon terjadi di malam-malam ganjil.
Di luar bulan Ramadan, yang tidak berkaitan dengan aturan-aturan agama, kita mengenal waktu-waktu (yang) baik. Orang-orang tradisional Jawa mengenal weton, hitung-hitungan hari baik berdasar waktu kelahiran seseorang. Sedangkan ilmu psikologi modern mengenal apa yang dinamakan kronotype, klasifikasi tipe manusia berdasar waktu-waktu terbaik dalam aktifitas kesehariannya.Â
Di dunia nelayan, dikenal waktu-waktu baik untuk menentukan posisi mencari ikan, berdasar hitung-hitungan hari. Berbeda dengan waktu baik yang berasal dari aturan agama, waktu-waktu baik di luar aturan agama ini didapatkan dari hasil perhitungan manusia berdasar pengalaman (intuitif) mereka selama ini. Pengalaman setelah melihat gejala-gejala alam yang terjadi, yang dapat juga dirasakan secara intuitif oleh unsur-unsur intrinsik manusia.
Sedang waktu baik yang berdasar aturan agama, seperti lailatul qodar ini sepenuhnya berasal dari informasi Sang Maha Pencipta, melalui kitab suci atau para nabi. Sang Maha Pencipta, yang menciptakan dan memelihara alam semesta.
Waktu yang baik, dimana unsur-unsur alam semesta bersinkronisasi dengan elemen-elemen manusia yang bersifat spesifik: intuisi dan perilaku. Makrokosmos bersinergi dengan mikrokosmos. Seperti inilah konsep keseimbangan alam semesta.
Malam lailatul qodar dikenal sebagai malam dimana diturunkannya al-Quran. Bila al-Quran dipahami hanya secara eksplisit seperti fisik buku kitab suci sekarang ini, maka lailatul qodar hanya terjadi pada masa Rasulullah saja. Tapi bila turunnya Quran kita pahami sebagai turunnya petunjuk pada diri (intrinsik) manusia, maka lailatul berlaku buat siapa saja dan kapan saja di dalam bulan Ramadan.
'Petunjuk turun ke dalam diri manusia' merupakan pengalaman yang sangat personal. Dan tentu tidak sama dengan petunjuk yang diturunkan pada Rasulullah dulu, berupa ayat-ayat al-Quran yang isi dan redaksinya tak dapat diganggu gugat.Â
'Petunjuk' pada manusia sekarang ini lebih berupa inspirasi-inspirasi ilahiah sehingga melahirkan upaya tadabbur dan tafakur: memikirkan alam semesta, penciptaan langit dan bumi, renungan tentang makna hidup, renungan tentang umur dan waktu. Upaya tafakur yang melahirkan ungkapan penyucian akan Zat Allah Swt, "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini semua, dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.." Qs. Ali Imron: 191.
Maka tanda-tanda berlangsungnya lailatul qodar di salah satu malam pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadan tidak hanya menyangkut kondisi ekstrinsik manusia berupa malam yang cerah tidak ada hujan dan mendung, dan suasana sejuk, tapi juga menyangkut kondisi intrinsik manusia, berupa vitalitas ruhiah yang sarat inspirasi bertafakur dan semangat yang tinggi untuk melaksanakan ritual ibadah di malam itu.
Dari inspirasi (tafakur dan tadabbur) yang didapatkan di malam lailatul qodar inilah menjadi energi yang sangat besar untuk merubah paradigma hidup dan kehidupan seseorang untuk menjadi manusia yang baru, yang penuh dengan vitalitas iman dan taqwa dalam menjalani kehidupan berikutnya pasca Ramadan. Manusia-manusia baru yang fitri, yang kembali pada fitrahnya.