Harmoko, ketua MPR di akhir masa orde baru, sebelum terjun ke dunia politik adalah seorang wartawan. Di masa ia menjadi wartawan, mesin ketik adalah perangkat default yang dipakai oleh para kuli tinta saat itu. Sebuah perangkat yang jauh lebih maju dibanding tinta atau pena celup yang populer di era sebelum diketemukannya mesin cetak.
Setelah era reformasi, Harmoko yang kesehariannya saat ini jauh dari hiruk pikuk politik, kembali menekuni dunia lamanya, menulis di harian yang ia dirikan, Pos Kota. Ia rutin menulis kolom di situ setiap hari. Ya, setiap hari. Dengan perangkat yang ia pakai dulu pada waktu pertama kali menjadi wartawan: mesin ketik.
Harmoko bukannya tak bisa mengoperasikan komputer. Ia mengaku bisa mengetik tulisan lewat program pengolah kata di komputer. Tapi ia lebih memilih mesin ketik, karena dengan perangkat inilah ide dan gagasannya menulis mampu mengalir dengan lancar.
Bahkan tulisan-tulisan kolomnya yang ia buat setiap hari, cuma butuh waktu beberapa menit saja selesai ia buat lewat mesin ketik. Satu hal yang akan makan waktu berjam-jam bila ia lakukan lewat program pengolah kata di komputer.
Bahkan bisa jadi tulisan kolomnya tak juga selesai bila ia kerjakan di komputer, karena ketika di depan komputer ide dan gagasan menulisnya jadi mampet sama sekali.
Di kantor dulu, aku punya seorang teman desainer interior senior, yang walaupun sudah akrab dengan teknologi komputer, tapi tak berminat sama sekali untuk mempelajari program-program gambar desain yang ada di komputer. Semua pekerjaan desain interior, baik dalam skala kecil maupun besar, semua ia kerjakan di meja gambarnya dengan perlengkapan seperti kertas, penggaris, pensil dan tinta rapido.
Sama seperti Harmoko, ide dan gagasan desainnya muncul dan mengalir deras sewaktu ia menggambar di media meja gambar. Satu hal yang kita lihat terasa begitu kuno dan konvensional di era digital komputer seperti sekarang ini.
Mungkin ada banyak contoh lain orang-orang seperti ini. Intinya, pilihan perangkat menjadi penentu bagi daya kreasi seseorang. Ini juga berlaku bagi orang-orang yang kadung sudah tergantung dengan perangkat-perangkat digital canggih.
Aku misalnya, dalam membuat denah bangunan sudah terbiasa menggunakan perangkat lunak gambar teknik seperti AutoCAD, akan mati gaya bila disuruh menggambar denah menggunakan meja gambar dengan perlengkapan kertas gambar dan tinta rapido.
Atau disuruh membuat tulisan blog dengan menggunakan perangkat mesin ketik, sebagaimana yang dilakukan oleh Harmoko. Walaupun dua perangkat konvensional tadi (meja gambar dan mesin ketik) pernah juga aku pakai dulu.
Padahal ide dan gagasan dalam hal ini lebih bersifat non fisik. Ia ada di alam pikiran manusia, tapi untuk mengaktualisasikannya atau mengimplementasikannya kita butuh bantuan perangkat yang cocok dengan diri kita.