Mohon tunggu...
Patri Handoyo
Patri Handoyo Mohon Tunggu... lainnya -

Pegiat seni, rakyat Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tombol dengan Angka 2

19 April 2011   04:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:39 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Tekan tombol dengan angka 1, 2, dan 3 yang tertera di atasnya agar baling-baling berputar dan menghasilkan angin segar sesuai keinginan di ruangan Anda. Jika menginginkan angin yang lebih kencang, tekan tombol dengan angka 2. Tombol dengan angka 3 adalah angin terkuat yang dapat dihasilkan oleh kipas angin ini. Untuk menghentikan putaran baling-baling, tekan tombol dengan angka 0 yang tertera di atasnya.

***

Begitulah instruksi sederhana yang tertulis di buku panduan pengoperasian kipas angin yang baru dibeli dan ditempatkan di lokasi yang paling strategis di rumah ini. Mesin yang harga beli dan kebutuhan listriknya jauh lebih murah ketimbang AC ini, tidak membutuhkan pemutaran baling-baling dengan tangan terlebih dahulu. Seperti pesawat keluaran tahun 20-an yang baling-balingnya harus diputar dengan tangan terlebih dahulu sebelum akhirnya mesin yang memutarkannya. Itulah yang terjadi pada kipas angin sebelumnya yang dimiliki keluarga ini. Kadang, memutar baling-baling dengan tangan, sebagai awal pengoperasian kipas angin itu, harus dilakukan berkali-kali karena baling-baling kembali berhenti berputar. Alat dengan susunan tombol yang sama seperti alat terdahulu yang pernah ada di rumah ini cukup dapat menciptakan kesejukan bagi siapapun yang tinggal di rumah beratap asbes di daerah pesisir.

Angin segar dibutuhkan hampir sepanjang hari di rumah kami di bilangan Pebayuran Bekasi, yang sangat minimalis ini. Bukan minimalis gaya arsitektur bangunan yang sedang marak itu, namun memang dari ukuran bangunan, jumlah ruangan, beserta perlengkapannya memang serba minim. Rumah yang dipisahkan oleh dinding batako dengan rumah-rumah di sekelilingnya ini hanya memiliki satu kamar tidur dan satu ruang makan merangkap kamar tidur merangkap ruang tamu yang tak terhalang ke dapur. Untungnya kamar mandi masih dipisahkan oleh pintu kayu bercat biru. Pemilihan warna ini juga sangat manipulatif, agar lumut yang bersarang di sana tak begitu tampak.

Kipas angin baru itu diletakkan membelakangi dapur menghadap ruang keluarga. Persis seperti semula. Pemilihan letak ini selain agar anak-anak tidak rewel akibat kegerahan ketika hendak tidur di depan TV, juga dimanfaatkan ibu untuk melepas lelah sambil menyaksikan infotainment atau sinetron setelah bekerja di dapur. Satu manfaat lagi adalah untuk menghalau asap rokok yang dihembuskan ayah dan teman-temannya di teras sempit depan rumah menyatu dengan gang yang hanya cukup dilalui oleh dua sepeda motor.

Setiap malam, sehabis makan, ayah biasa duduk di teras rumah sambil merokok dan mengipas-ngipaskan koran bekas. Hal ini pulalah yang mengundang tetangga-tetangga untuk nimbrung di sana. Hingga ruang keluarga dipenuhi asap rokok yang masuk dari lubang-lubang angin. Sebelum adanya kipas angin, selepas makan malam pintu dibuka agar angin dari luar dapat masuk lebih leluasa. Pada saat seperti itu, bukan angin yang didapat melainkan asap yang dihembuskan ayah beserta teman kongkow-kongkownya. Mereka membicarakan apa saja, dari kuntilanak sampai pemilihan bupati yang digelar Maret lalu. Dari gugatan cerai selebriti yang sedang heboh ditayangkan di TV sampai pelajaran anak-anak mereka di sekolah. Malam ini aku tidak mengikuti langkah Iksan yang berjalan menuju kerumunan itu, berusaha menarik perhatian di sana, sebelum akhirnya disuruh masuk lagi.

***

Mata Iksan tertuju pada putaran kipas. Dia berhasil menemukan asal hembusan angin yang menerpa sekujur tubuhnya sejak tadi. Siang itu gerah sekali. Apalagi sejak matahari belum terbit sudah berada di dapur. Maklum, kemarin baru dapat jatah daging kambing dari masjid. Dan jika anak-anak sudah bangun, sulit sekali untuk konsentrasi memasak, lagi pula ibu sudah berencana membuat rendang kambing, hmm lezat!

Merangkak Iksan menuju angin berasal. Sesekali aku menahan badannya, urusan yang sangat menyebalkan selama enam bulan terakhir, sebelum mencapai alat dengan bagian atas berbentuk seperti penggerak helikopter itu. Ibu yang setengah terpejam, menikmati sejuknya peluh yang tertiup angin, tak memperhatikan gerakan sang bocah. Setelah berada di dapur berjam-jam, ditambah mengurus anaknya yang masih kecil-kecil, belum lagi ayah yang tadi pagi merecokinya dengan urusan teh yang lupa diberi gula sebelum bergegas meninggalkan rumah, keletihan ibu telah mencapai puncaknya.

Sebagai buruh bangunan, jika ada proyek, entah itu membangun, merenovasi, atau sekedar mengecat ulang, ayah selalu meninggalkan rumah pagi-pagi buta setelah menyeruput teh manis. Dan jika sedang beruntung, beliau dapat makan nasi sisa semalam yang ditambahkan bumbu-bumbu ala kadarnya menjadi nasi goreng atau sekedar menyantap singkong goreng yang dibuat ibu. Jika tidak, menurut kabar, kalori teh manis sama dengan kalori sepiring nasi, jadi segelas minuman hangat tersebut banyak diyakini orang dapat membuat tubuh tetap berenergi hingga makan siang nanti.

Selain urusan asupan energi, sebelum berangkat kerja, ayah selalu mempersiapkan perkakas pertukangannya dengan baik, dimasukkan ke dalam sebuah tas ransel. Perkakas tersebut antara lain pensil, meteran, dan kapak andalannya. Kapak tak kalah serba guna dari kipas angin yang bertengger gagah di antara dapur dan ruang keluarga. Ayah pernah bercerita bahwa dari seluruh alat pertukangan yang dikuasainya, kapak adalah pusakanya, sebagaimana layaknya keris bagi orang-orang Jawa. Dia berguna untuk memenggal kayu, memaku atau mengungkitnya, membelah batok kelapa, hingga memecahkan es saat ayah dan ibu berdagang es kelapa muda ketika tidak ada order bangunan. Biasanya ketika bulan puasa.

Tak! Aku menekan tombol dengan angka 0 yang berjajar dengan tiga tombol lainnya di tangkai mesin pemutar baling-baling itu. Sesaat kemudian kutekan tombol dengan angka 2. Baling-baling kembali berputar. Iksan menikmati hembusan angin sebelum akhirnya kutekan lagi tombol dengan angka 0. Aku menahan tombol tersebut. Tak lama kemudian tangan kanan Iksan menekan tombol dengan angka 3. Ketika anak berusia satu tahun itu melepas tombol tersebut, otomatis kipas berhenti berputar. Begitu pula ketika dia mencoba menekan tombol-tombol lain pada jajaran tersebut. Kipas berhenti berputar.

Keringat kembali mengucur dari kening ibu sementara Iksan sedang asyik-asyiknya bermain dengan tombol-tombol yang menyebabkan berhentinya hembusan angin selama hampir lima menit. Mendapati anaknya berada sangat dekat dengan baling-baling, ibu membelalakkan matanya yang sempat terpejam terbuai angin. “Iksan, jangan kau bermain kipas angin, nak!” tegur ibu sambil melangkah mengambil Iksan ke pelukannya.

“Sariii!” teriak ibu, “Tolong kau jaga adikmu ni... Jangan biarkan dia mendekati kipas angin, nanti jarinya masuk dan tersambar baling-baling.. Putuslah dia!”

Sari yang sejak tadi berada di kamar setelah dimarahi ibunya karena berebut mobil-mobilan dengan Iksan dan tidak mau mengalah, langsung keluar dari persembunyiannya. “Sari, tolong kau jaga sebentar adikmu. Ibu mau istirahat dulu!”

Merasa dibutuhkan kembali oleh ibunya, Sari langsung sigap mengemban tugas mulia tersebut. Namun rumah ini bukanlah pre-school franchise dari negara-negara maju di barat sana, yang memiliki lahan luas dengan beragam permainan, alat-alat belajar sambil bermain, serta taman dengan pasir pantai dan perosotan. Sementara Sari, hanyalah anak berusia empat tahun yang tidak memiliki sertifikat mengasuh balita sebagaimana layaknya instruktur di taman-taman bermain yang biaya bulanannya sudah pasti lebih mahal dari biaya sewa rumah petak ini.

Setelah beberapa saat bermain di dalam kamar, kamipun keluar. Berusaha melangkah sambil sesekali berpegang pada apapun yang dapat diraih, menuju baling-baling berputar yang memukau. Sari mengikuti.

Tak! Aku kembali menekan tombol dengan angka 0. Iksan terkesima dengan melambatnya putaran baling-baling. Sari berusaha menjauhkanku dari tombol-tombol tersebut. Iksan segera berupaya meraih tombol-tombol tersebut walaupun Sari menghalangi. Sari panik, takut ibunya terbangun karena ulah adiknya ini. “Sebelum terbangun karena urusan kipas angin, lebih baik kubangunkan dia terlebih dahulu” gumamnya.

“Ibuuuu!! Nih kipas anginnya dimainin lagi!” Sari setengah berteriak.

Ibupun bangun. Sari tak kuasa menahan hasrat keingintahuan yang dilebur dalam daya imajinasi kami, dia akhirnya memilih mengadu pada yang dianggap lebih dapat menaklukan daya-daya tersebut, untuk kemudian menyingkir. Dengan geram ibu menghampiri kami, “Kamu udah dikasih tau ya!” sambil tak lupa tangannya memukulku. Blepak!!

Teriakan geram ibu, ditambah suara lumayan keras pukulan tangannya yang mengenaiku mengagetkan Iksan yang segera menangis sesegukan, tak menyangka akan dikejutkan oleh kemarahan ibu di tengah istirahatnya dari keletihan siang itu. Keletihan yang dialami hampir setiap siang, setelah melalui gelapnya pagi untuk mencuci pakaian dan memasak air, menyongsong terbitnya mentari untuk menyiapkan sarapan dan menyeduh teh, menantang terpaan sinar sang surya untuk menjemur pakaian sambil mengurus anak-anak yang baru bangun tidur, berteduh dari teriknya matahari untuk memasak sambil terus mengasuh anak-anak. Istirahat siang bukanlah untuk mengakhiri kegiatan-kegiatan yang menguras energi tersebut, namun untuk menyambut segudang kegiatan rutin yang akan berlangsung dari petang hingga malam menjelang tidur nanti.

Sejak kejadian pemukulanku atas hasrat penelitian kami terhadap obyek menyerupai penggerak kapal laut, yang dialami di masa yang disebut-sebut sebagai periode emas pertumbuhan intelektualitas manusia, ibu sudah tak segan-segan lagi untuk memukulku maupun Iksan. Memukul bagian tubuh yang mana saja sekenanya jika beliau merasa sudah memperingati namun daya-daya imajinasi itu terlalu kuat untuk ditaklukan oleh rasa takut seorang bocah berusia kurang dari tiga tahun terhadap kemurkaan ibunya. Menggoda emosi orang-orang yang menganggap dirinya telah dewasa untuk diletupkan. Ibu pun sudah terbiasa untuk menggunakan apa saja yang sedang berada dalam genggamannya untuk memukul anak-anaknya, termasuk Sari yang terlebih dahulu merasakan usaha-usaha penertiban tersebut. Kadang benda-benda itu hanya dipukul ke obyek-obyek yang berada dekat dengan kami untuk menimbulkan suara keras yang dianggap dapat menyurutkan nyali anak-anaknya. Namun tak jarang pula benda-benda tersebut mengenai tubuh.

Walaupun kebanyakan waktu letupan emosi itu mengagetkan dan menyebabkan seluruh aktivitas di sekeliling terhenti sejenak oleh ketakutan, hal tersebut tak menyurutkan hasrat keingintahuan aku, Sari, dan Iksan di lain waktu. Bahkan kadang kami melakukan hal yang sama sesaat setelah letupan emosi anak besar itu terjadi. Jika demikian, letupan tadi berubah menjadi dentuman hingga ledakan yang dahsyat menyerupai letusan gunung berapi yang menyebabkan gempa vulkanik, meruntuhkan rumah-rumah di daerah sekitarnya.

***

Siang itu, minggu pertama puasa 2006, aku mulai bergabung dengan Marwah, membuat es kelapa muda untuk dijual sebagai hidangan berbuka. Proyek renovasi rumah seorang pensiunan pegawai negeri di Perumnas Bekasi I selesai kemarin, order berikutnya biasanya seminggu sebelum lebaran. Itupun paling hanya mengecat ulang rumah-rumah tipe 21 dan 36 yang sudah direnovasi di kawasan perumnas tersebut. Sudah hampir duapuluh tahun sejak selesainya pembangunan perumahan di kawasan tersebut, aku menjadi tukang bangunan lepas di daerah itu. Awalnya turut membangun rumah-rumah perumnas tersebut, kemudian dikontrak sebuah perusahaan developer untuk mengepalai tukang-tukang dalam pembangunan real estate, masih di kawasan yang sama. Kontrak itu terpaksa diputus sebelum setahun karena krisis ekonomi yang melanda negeri ini. Krisis yang menumbangkan bisnis apapun termasuk properti.

Hari Minggu lalu Iksan genap berusia dua tahun. Aku menghadiahinya satu set krayon dan satu buku gambar. Maksudnya, agar dia mulai belajar mengenal warna dan menggambar, di buku itu. Walaupun akhirnya dia menumpahkan imajinasi ke dalam seni melukis di dinding dan dimana saja sesuai inspirasinya saat itu. Dan jika menghadapi aksi seniman ini di tempat-tempat artistik selain buku gambar, Marwah selalu mengeluarkan kata-kata dari mulutnya dengan ekspresi wajah yang jelas menampakkan kekesalan. Hal ini tidak hanya berlaku pada Iksan...

“Bang! Mana lagi air kelapanya?”

Suara itu memecah lamunanku tentang perlakuan Marwah pada anak-anak yang semakin hari, seiring pertumbuhan mereka, justru semakin menunjukkan kesenewenannya.

Semoga hal ini akan berakhir ketika anak-anak melewati masa balita. Sari setahun lagi masuk SD, gumamku, Iksan sebagai anak terkecil masih....

“Bang, kok malah melamun?? Kupasi lagi kelapa-kelapa itu, banyak pesanan hari ini nih!”

Lamunan yang sempat berlanjut setelah kuberikan ke Marwah kelapa yang sudah dibolongi untuk dituang airnya ke baskom kembali terhenti. Masih oleh suara yang dimiliki orang yang sama.

Gubrak!!! Suara benda keras yang menghantam lantai terdengar jelas dari tempatku membelah kelapa. Iksan telungkup menindih kipas angin yang lebih tinggi dari tubuhnya. Tanpa mengeluarkan suara dari mulutnya, berusaha bangkit. Sesaat kemudian dia menangis ketika Marwah selesai berucap setengah teriak, “Sudah dibilang dari dulu, jangan main kipas angin!!”

Akibat kejadian ini, kipas angin yang kubeli dua tahun lalu mengalami kerusakan yang cukup fatal. Jaring pengaman baling-baling terlepas dari ikatannya sehingga baling-baling dan motor penggeraknya membentur lantai tertindih tubuh Iksan. Alhasil, untuk bisa menghembuskan angin segar sambil bersantai di hadapannya, dibutuhkan pemutaran baling-baling terlebih dahulu dengan tangan. Jika beruntung, upaya pemutaran manual itu hanya dibutuhkan sekali. Jika, tidak?

Marwah berlanjut dengan gerutuan, “Yahh, jadi rusak kan kipasnya. Nggak pernah dengar sih kalau orang tua ngomong!” sambil menggaruk-garukkan kepala antara panik dan kesal. Kali ini dia tidak melanjutkan dengan pukulan. Mungkin karena sedang puasa.

“Sini kapaknya, bang. Biar kuselesaikan es kelapanya. Kau jaga Iksan saja sana!”

Di dapur masih tersisa tujuh buah kelapa yang sudah kubolongi. Masih perlu dibelah untuk mengerok daging mudanya. Ketika itu jam dinding menunjukkan pukul 2 siang. Tersisa waktu satu jam lagi sebelum gerobak diluncurkan dari ujung gang menuju tempat penjualan es kelapa di pinggir jalan raya. Aku memilih untuk membawa Iksan ke kamar demi melihat Marwah berusaha menyelesaikan pekerjaannya sambil terus menggerutu, membuatku tertekan.

***

14:30

Ayah sudah mulai menyiapkan gerobak dan bahan dagangannya. Dua wadah plastik besar, ember dengan gagang dan penutup, es kelapa muda siap dinaikkan ke gerobak. Ibu mencincang bongkahan-bongkahan es untuk kemudian dimasukkan ke wadah terakhir bersama air dan daging kelapa muda yang telah dicampur dengan gula pandan. Sementara Iksan, duduk anteng di lantai berhadapan dengan televisi yang sedang menayangkan film kartun, sambil sesekali mendorong mobil-mobilan di atas lembaran poster dengan gambar berbagai mamalia sebagai media belajar anak-anak.

Wadah pertama diangkut ayah. Sari mencoba membantu ayahnya mengeluarkan wadah kedua dari dalam rumah dengan cara menyeret beban seberat 9 kg itu. Ketika tiba di pintu, benda yang diseret dengan berjalan mundur itu menabrak ujung kusen, mengacaukan keseimbangan badan Sari, dan membuatnya terguling, memuntahkan seluruh isinya.

Mendengar deburan kencang air bercampur daging kelapa muda dan es batu menghempas lantai rumah, ibu menjerit. Masih menggenggam kapak, ia berlari hampir menginjak Iksan jika tidak sigap untuk melompatinya dengan langkah yang lebih panjang, berupaya sekuat tenaga menyelamatkan sumber penghidupannya hari ini. Namun laju 9 liter es kelapa muda yang menyeruak dari dalam wadah yang terguling itu lebih cepat dari kejarannya. Sehingga niat untuk menyelamatkan bahan dagangan dengan segera berubah menjadi keinginan untuk menghukum Sari atas keteledorannya ketika tiba di depan mulut wadah yang terguling dan anak perempuannya itu.

Dengan gemas ibu mengayunkan benda yang berada di genggamannya. Sasarannya adalah wadah plastik yang telah terjungkal agar efek suara menggelegar yang ditimbulkan dari benturan kepala kapak dan plastik bahan wadah tersebut membuat Sari ketakutan dan segera menyesali perbuatannya. Namun ayah, yang juga sudah berada di ambang pintu, tidak mengetahui yang menjadi sasaran pukul ibu. Ia siap sedia mencegah terjadinya kemungkinan yang paling buruk atas ayunan kapak tersebut. Tangannya secara refleks menahan laju kapak yang diayunkan ibu, memberi daya dorong kebalikan dari arah ayunan sebelumnya, membuat ibu hampir terjengkang jika tidak segera menguasai keseimbangan. Benturan telapak tangan ayah dengan gagang kapak itu mengakibatkan kepala kapak, yang baru saja digunakan untuk membelah tujuh buah batok kelapa dan mencincang tiga balok es, terlepas dari gagangnya, melayang berputar-putar bagai kipas angin berkecepatan rotasi setara dengan jika kutekan tombol dengan angka 2 di atasnya, hingga hampir mengenai langit-langit rumah di belakang kepala ibu sebelum sisi tajamnya mendarat keras di ujung bagian belakang tubuhku, tepat di hadapan Iksan yang sedang menunjuk gambar seekor bison di poster yang diletakkan di lantai agar mudah dilihatnya.

Craaattt....!!!

Aku terpisah dari Iksan dan empat saudaraku, sejak itu.

Jakarta, 7 September 2007

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun