Dengan sangat berhati-hati, Rina berusaha kembali menutup pagar setelah berhasil meloloskan diri masuk ke halaman. Perlahan, agar tidak menimbulkan suara-suara yang dapat saja mengundang perhatian orang-orang di dalam rumahnya, kemudian berjalan berjingkat menuju pintu depan. Ketika berhasil membuka pintu, sebelum seluruh tubuhnya memasuki rumah, lampu menyala. Rupanya ayah dan ibunya telah menunggu sejak tadi.
“Cepat kemari, kamu!” seru Herman sambil menarik tangan anaknya itu ke arah kamarnya.
Rina hanya diam menuruti perintah dan tarikan tangan ayahnya yang wajahnya memerah karena marah. Ibunya terlihat cemas.
Malam itu Rina baru saja pulang dari rumah Dicky, duda dengan tiga anak yang saat ini menjadi kekasihnya setelah enam bulan mereka berkenalan. Perkenalan dua sejoli itu terjadi di galangan kapal tempat Dicky bekerja. Saat itu Rina sedang berjalan bersama beberapa kawannya pulang dari sekolah yang terletak tak jauh dari galangan tersebut. Tak seperti biasanya, siang itu Rina tidak dijemput oleh supir yang sehari–hari bertugas mengantar dan menjemput dia dan ayahnya.
Dicky yang sehari-harinya bertugas mengecat ulang kapal-kapal yang sudah berkarat, terpana melihat Rina yang tidak pernah dilihat sebelumnya melintas di hadapannya. Seketika itu juga ia langsung berdiri dari tempat duduknya saat beristirahat siang, menggoda sekelompok gadis SMA tersebut. Tanpa basa-basi lagi, segera Dicky bertanya kepada Rina apakah boleh berkenalan yang langsung disambut dengan mimik wajah sasarannya yang tersipu-sipu.
Walaupun hanya buruh pengecat kapal, penampilan Dicky tak ubahnya penampilan pemuda masa kini. Dan memang wajahnya sulit untuk tidak dikatakan tampan. Mengenakan setelan kaos ketat, sepatu kets putih, dan celana jeans biru denim, meyakinkan siapapun bahwa dia adalah pemuda yang memperhatikan penampilannya walaupun usianya kini menginjak 31 tahun dan sudah beranak tiga.
Rina yang saat itu sudah setahun jomblo, walaupun terkesan jual mahal, namun menanggapi ajakan perkenalan tersebut dan mempersilahkan Dicky untuk berjalan di sisinya bersama teman-temannya. Perkenalan siang itu kemudian berlanjut ke kencan-kencan selanjutnya dan menghantar mereka menjadi sepasang kekasih yang dimabuk asmara.
“Memangnya kami tidak tahu kalau kamu keluar rumah? Hah!” kembali Herman berteriak sambil melepas tangan Rina setelah berhasil membawanya masuk ke kamar.
Setibanya di kamar Rina, Syarifah hanya bisa diam sambil menahan tangis menanti tindakan suaminya selanjutnya terhadap anak semata wayang mereka. Sepanjang penantian tadi, Herman terus bergumam bahwa ia akan memberikan pelajaran yang keras baik untuk Rina maupun Dicky. Walaupun terus memberikan pengertian, namun Syarifah tak sanggup menahan gejolak amarah Herman atas perubahan tingkah laku Rina belakangan ini yang sering pulang hingga larut malam dengan alasan yang dibuat-buat. Mereka tahu kalau saat ini Rina tengah menjalin kasih dengan Dicky, dan mereka telah menyelidiki siapa Dicky sebenarnya setelah ia mengunjungi rumah Rina di suatu siang di hari Minggu.
“Cepat buka pakaianmu!” perintah Herman dengan nada keras.
Rina kaget, menangis menatap wajah ibunya yang tak dapat menyembunyikan kecemasan. Perlahan ia menanggalkan pakaiannya, dimulai dari sweater yang masih ia kenakan. Tatapannya kini beralih ke lantai, tertunduk dengan berjuta ketakutan yang membebani kepalanya.
“Terus!” kembali Herman berteriak.
Sesaat setelah menanggalkan tanktop-nya, Rina terdiam. Masih tertunduk tak berani menatap siapapun yang berada di ruangan itu. Tubuhnya, yang kini hanya dibalut kutang dan celana panjang, bergetar, sambil tangannya berusaha menutupi kedua buah dadanya.
Syarifah sudah tak tahan lagi untuk hanya diam dan meneteskan air mata, “Sudah, Ayah!”
“Tidak! Aku bilang buka pakaian, itu berarti semua pakaian!! Ayo cepat, pelacur kecil!!!”
“Ampun, Ayah!” suara Rina bergetar hampir tak terdengar.
“Apa kamu bilang? Ampun? Lepas semua pakaianmu dan kamu akan tahu arti kata ‘ampun’!” bentak Herman.
“Ayah, sudahlah,” kembali Syarifah berusaha agar Herman mengurungkan perintahnya yang didasari amarah itu.
“Ibu, anak ini harus ditunjukkan kesalahannya dan diberi pelajaran!! Cepat lepas kutang dan celanamu!!!”
Perlahan dan ketakutan, Rina melepas celana panjangnya. Suara tangisnya pun kian terdengar. Ia meratap. Namun ayahnya yang sudah kalap tak peduli dengan ratapan tersebut. Dan hampir saja Herman, karena tidak sabar, menarik tali kutang yang masih belum juga ditanggalkan anak gadisnya itu. Tangan Syarifah langsung menahannya, “Biarkan dia lakukan sendiri, Yah!”
Rina sesegukan sambil melepas kutang dan cawatnya. Badannya bergetar hebat, hampir berjongkok untuk menutupi tubuh telanjangnya bila Herman tak kembali berteriak, “Hadap sini, anak tak tahu adat!”
Herman merengkuh dagu Rina, berusaha menegakkan kepalanya, “Coba lihat anakmu ini, Bu. Tatap dia baik-baik!”
Tak puas dengan cahaya yang menerangi, Herman menggeser posisi berdiri Rina hingga lampu neon di ruangan itu menerangi seluruh bagian depan tubuhnya.
“Apa yang kamu lakukan malam ini dengan buaya darat itu?!”
Rina diam, berusaha menatap mata ayahnya. Hanya isakan yang keluar dari mulutnya. Kepalanya kembali tertunduk, tangannya memukul-mukul pahanya, suara tangisnya semakin keras. Cahaya yang menerangi tubuh telanjangnya semakin membuat perasaan Rina tak karuan. Seorang anak gadis yang telah beberapa tahun ini memiliki privasi atas tubuhnya sendiri, kini harus mempertontonkannya kembali di hadapan kedua orang tuanya.
Tangan Herman meraba pipi dan perlahan ke leher hingga pundak Rina. Matanya memandang dengan jijik wajah anaknya itu sebelum akhirnya memegang bagian bawah buah dadanya. Dengan kedua tangannya, Herman mengangkat dan memeriksa kedua payudara milik putrinya yang sudah berusia akhir belasan.
“Sudah kuduga!” cibir Herman.
“Coba kamu lihat sini!” Herman menarik tangan Syarifah agar pula memeriksa bagian bawah payudara anaknya.
“Kamu tidak perlu menjelaskannya karena semua sudah jelas!” Herman kembali berteriak sambil menunjuk tanda merah di lipatan payudara Rina, kemudian bergegas meninggalkannya.
“Ampun, Ayah!” Rina kembali meratap.
Syarifah memeluk putrinya diiringi dengan isak tangis keduanya. Herman membanting pintu dan menendang apapun yang ada di hadapannya.
***
Pagi ini Toto terpaksa terlambat berangkat ke tempat tugasnya yang masih berada di dalam lingkungan komplek institusi tempatnya bekerja untuk menunggu Lilis, istrinya, kembali ke rumah setelah jadwal siaran paginya. Pembantu rumah tangga (PRT) yang baru satu minggu bekerja di rumah Toto, semalam dijemput oleh kerabatnya. Berarti dalam dua bulan belakangan, sudah tiga PRT yang pergi dari rumahnya sebelum setahun mereka bekerja. Kalau hanya untuk masak dan membersihkan rumah, Toto dan Lilis berdua masih sanggup mengerjakannya. Namun Vito, anak kedua mereka yang baru berusia satu setengah tahun, masih harus tetap ada yang mengasuh. Lilis sendiri belum genap tiga bulan bekerja sebagai penyiar radio swasta di kota Makassar, dan masih berusaha mencocokkan jadwalnya dengan jadwal kerja Toto serta kegiatan anak-anak mereka. Dia memang seorang penyiar yang sangat mencintai pekerjaan tersebut. Sebelum pindah ke kota itu delapan bulan lalu, Lilis telah melakukan kontak dengan radio-radio lokal di sana. Baru empat bulan kemudian dia mendapatkan kontrak dari sebuah radio swasta yang dirasa cocok dengan gaya siarannya.
Mereka membutuhkan pengasuh Vito paling tidak dari pagi, saat Toto menghadiri apel pagi, hingga jam istirahat siangnya dimana dia dapat kembali ke rumah karena masih satu komplek dengan lembaga pemasyarakatan tempatnya bertugas. Suryani, anak pertama mereka, sudah dapat berangkat dan pulang sekolah sendiri. Lagipula sekolahnya terletak dekat dengan perumahan mereka. Lilis meninggalkan rumah sebelum jam enam pagi setelah mempersiapkan kebutuhan makan, dan baru pulang dari kantor radio yang berjarak 15 menit dari rumah mereka selepas jam satu siang setelah jadwal siaran siangnya.
Sebagai pegawai yang baru bekerja kurang dari setahun, Toto banyak mendapat perhatian dari rekan sejawatnya. Dan memang Toto banyak bercerita kepada mereka, khususnya tentang serba-serbi kehidupan kota tempat tinggal barunya. Untuk masalah pengasuh Vito yang dialami Toto pagi ini, akhirnya salah seorang koleganya memberikan tawaran yang baru diketahui Toto ternyata telah banyak dilakukan petugas-petugas di jajaran lembaga pemasyarakatan. Orang-orang yang ditugaskan di suatu daerah dimana tidak memiliki sanak saudara dan memiliki anak yang masih kecil banyak yang mengalami masalah yang sama dengannya. Serta masalah PRT yang tidak betah, baru beberapa hari bekerja sudah minta berhenti, banyak dialami di manapun.
Sebuah masalah remeh yang merepotkan! Atau sebenarnya bukan masalah remeh? Apakah PRT adalah sebuah pekerjaan remeh? batin Toto di tengah perbincangan dengan rekan-rekan seruangan siang itu.
“Memang Bapak belum tahu?” tanya Lusi
“Aku selama ini kebanyakan ditempakan di Pulau Jawa, Lus, dimana rata-rata orang yang ditugaskan di sana punya keluarga di daerah tempat dinasnya,” jawab Toto.
“Waktu itu Pak Lukito, Pak Toto kenal kan? Kalapas Watampone sekarang? Pernah mengambil Janah, terpidana kasus pembunuhan, untuk dijadikan pengasuh anaknya ketika bertugas di sini,” ujar Wahyu, “tapi Janah sekarang sudah bebas persis dua bulan setelah Pak Lukito diangkat menjadi kalapas.”
Terpidana kasus pembunuhan? Toto keheranan.
“Lantas, bagaimana dengan anaknya? Bagaimana kerjaan si .... siapa namanya tadi?” selidik Toto.
“Wah, ya anaknya akrab banget, Pak, sama si Janah,” Lusi menimpali.
“Biarpun Janah laki-laki, tapi dia telaten kalau ngurus anak kecil. Lagian, orang-orang seperti dia lebih dapat dipercaya untuk ngurus rumah daripada terpidana kasus pencurian, misalnya,” Kusmiyati ikut nimbrung.
“Betul, Pak Toto! Dari cerita rekan-rekan, kebanyakan yang diambil untuk ngurus rumah, ya dari kasus pembunuhan. Soalnya mereka nggak menipu atau mencuri. Pokoknya tindakan melanggar hukumnya bukan karena motif ekonomi. Kalau motif ekonomi kan, takutnya, nanti di rumah kita ngutil, lagi! Atau bohong, bilang sudah nyuapi padahal dimakan sendiri!” kembali Wahyu angkat bicara.
“Wah, tapi kalau nanti malah ada yang dibunuh di rumah kita gimana tuh?” tanya Toto ngeri.
“Ya, dipelajari dulu kasusnya, Pak. Kalau pembunuh psikopat, ya jangan dong!” sergah Kusmiyati.
“Memangnya siapa yang dibunuh Janah, Bu?”
Kusmiyati adalah psikolog yang sudah bertugas di lapas tersebut hampir sepuluh tahun karena ikut suaminya yang bertugas di pelabuhan dan kini menjabat sebagai Kepala Pelabuhan Makassar. Dia mengetahui dengan baik riwayat warga binaan di sana, terlebih kondisi kejiwaannya.
“Waktu itu istrinya sedang hamil anak kedua,” Kusmiyati mengawali ceritanya, “Sudah memasuki usia lima bulan. Sebagai kader PKK ketika itu, dia beserta kader lainnya diminta lurah di sana untuk turut menyemarakkan kampanye pemilu. Kampanye tersebut selain berupa pidato oleh petinggi-petinggi partai dan hiburan, juga melakukan pawai keliling kota. Setibanya di rumah pada sore harinya, dia mengalami pendarahan dan akhirnya keguguran. Pada saat itu Janah sedang berada di pasar menjaga kios berasnya hingga seorang tetangga menyusul untuk memberitakan kejadian yang dialami istrinya itu.”
Merengkuh gelas, Kusmiyati meneguk es teh yang telah berembun di mejanya, lalu, “Setibanya di rumah, Janah panik. Berdasarkan informasi yang didapat dari istrinya, bahwa ia diminta menyemarakkan kampanye oleh lurah, pada saat itu juga diparaninlah rumah lurah itu. Janah tidak membawa senjata ketika itu. Terjadi adu mulut setibanya Janah di rumah lurah itu, suasana pun makin memanas hingga terjadi adu fisik.”
“Suasana kalap ketika itu memaksa Janah dan lurah tersebut menggunakan apapun yang ada di sekelilingnya untuk dijadikan senjata demi membela diri dan merubuhkan lawannya masing-masing. Janah berhasil meraih linggis yang kebetulan sedang digunakan untuk menegakkan pohon Mahoni yang baru ditanam di pekarangan rumah lurah itu. Dengan linggis itulah Janah menghabisi nyawa lawannya,” Kusmiyati menghakhiri cerita.
“Janah sangat merasa bersalah atas kejadian itu dan langsung menyerahkan diri ke kantor polisi,” tambah Wahyu.
“Ngeri juga ya, Pak Wahyu, dengar ceritanya!” sahut Toto.
“Memang ngeri, tapi kalau disuruh ngurus rumah apalagi ngemong anak kecil, baby sitter yang pakai seragam aja kalah, Pak!” Kusmiyati berpromosi.
“Apa sekarang ada warga binaan yang seperti itu di sini? Atau kalau bisa yang nggak pernah ngebunuh tapi telaten ngurus bayi, Bu. Ada?” tanya Toto lagi.
“Di dalam sih ada hampir tiga puluh warga dengan kasus pembunuhan. Perempuan juga ada kalau mau!” seru Kusmiyati.
“Yang tidak pernah membunuh?” Toto menegaskan pertanyaan sebelumnya.
Lusi tersenyum geli disusul tawa Wahyu. Mereka berdua saling bertatapan lalu memandang Kusmiyati, menantikan jawaban yang akan keluar dari mulutnya.
“Hmmm... Tunggu dulu,” sambil memegang keningnya, Kusmiyati berusaha mengingat kasus-kasus warga binaan di lapas itu.
Tak lama kemudian, “Lus, siapa nama anak yang dituntut jaksa karena macarin anaknya itu?”
“Ooh...” Lusi membuka laci, dan tak lama kemudian, “Dicky. Dicky Lucas Tompodang!” jawab Lusi setelah memeriksa arsip yang baru saja diambilnya dari laci.
“Nah, kalau si Dicky ini belum pernah ngebunuh, Pak. Tapi nggak tau ya, punya niat ngebunuh apa enggak?” canda Kusmiyati.
“Memang kasusnya apa, Bu?”
“Wah dia kasihan tuh,” sambut Wahyu.
Perbincangan siang itupun berlanjut hingga akhirnya Toto memutuskan untuk meminta Dicky mengurus Vito dimulai keesokan harinya. Sejak saat itu, dengan pengawasan Toto sendiri dan rekan-rekan sipir di tempatnya bekerja, Dicky mulai bekerja. Tidak hanya mengurus Vito, terkadang dia juga membersihkan rumah dan memasak.
***
Sebuah mobil sedan buatan Jerman keluaran tahun 90-an akhir memasuki pelataran parkir lapas yang berarti juga halaman rumah Toto, tepat pada saat apel pagi selesai. Dicky yang saat itu hendak menyuapi Vito sarapan di halaman, mengurungkan niatnya, kembali menutup pintu rumah, dan mengintip dari jendela. Seorang lelaki setengah baya, mengenakan setelah jas coklat muda, turun dari pintu belakang mobil itu dan berjalan menuju pintu lapas. Petugas gerbang membuka jendela kecil di pintu yang terbuat dari besi itu demi mendengar ketukan dari luar. Ditatapnya tamu tersebut dari kepala hingga kaki.
Sesaat kemudian, “Saya mau mengunjungi Dicky, Pak!”
Jendela kecil pintu besi itu ditutup kembali. Tak lama pintu terbuka.Sesaat setelah lelaki perlente itu masuk, petugas memintanya untuk mengisi buku tamu dan menyerahkan kartu identitas. Hermanuddin Giffar, tertulis di KTP yang juga dituliskan di buku tamu lapas.
“Tunggu di sini, Pak Giffar. Dicky sedang bekerja. Sebentar dipanggilkan,” ujar petugas sambil menunjuk ruang tunggu yang berada persis di samping pintu masuk.
Petugas gerbang lainnya masuk ke dalam setelah diberi tanda oleh si penyambut tadi untuk melaporkan tamu yang datang di luar waktu berkunjung. Setibanya di ruang Seksi Bimbingan Napi dan Anak Didik, petugas tadi melaporkan kedatangan pengunjung tersebut langsung kepada kepala bagian. Toto yang baru saja berada di mejanya segera beranjak demi ditugasi atasannya untuk menemui pengunjung tersebut. Lagi pula, jika maksud kunjungannya cukup penting, berarti Dicky harus dipanggil dari rumahnya dan Toto akan menggantikannya mengasuh Vito.
“Selamat pagi, Pak!” Toto menghentikan langkahnya dan menyambut tamu tersebut, “Mau mengunjungi Dicky?”
“Ya, Dicky Lucas Tompodang. Dia ada, Pak?”
“Begini, Pak. Sebenarnya waktu berkunjung itu hari Rabu dan Minggu, dari jam 10 hingga jam 1 siang,” jelasnya.
Mendengar penjelasan Toto, tamu itu tersenyum, “Ya, saya tahu itu, Bapak ini menjelaskannya barusan,” sambil menunjuk petugas yang tadi menyambutnya.
“Kalau tidak sangat mendesak, saya akan mengikuti jadwal tersebut. Oh iya, perkenalkan. Saya Herman, Pak.”
Menyambut uluran tangannya untuk berjabat, “Saya Toto. Toto Ricardo lengkapnya. Saya ditugaskan oleh pimpinan untuk menemui Bapak. Karena mengenai Dicky.... Dua minggu lagi masa pidananya berakhir... dan... Egh, gimana kalau ngobrolnya di ruangan saya saja?”
Herman mengikuti langkah Toto memasuki ruangan. Segera dipersilahkannya Herman untuk duduk, “Mau minum apa, Pak Herman? Teh, kopi, atau minuman dingin?”
“Tidak perlu repot-repot, Pak!” jawab Herman sungkan sambil duduk.
“Mengenai Dicky. Saya tahu bahwa dua minggu lagi masa pidananya akan berakhir.....” lanjutnya.
“Ya, dan tidak seperti napi lainnya, cuti menjelang bebasnya banyak dihabiskan di lingkungan lapas ini. Katanya, sudah tidak ada keluarga lagi di sini. Kemudian, rencananya setelah bebas dia akan pulang ke Manado, ke tempat orang tuanya,” potong Toto.
“Oh iya, ngomong-ngomong Pak Herman ini siapanya Dicky, ya?”
“Ehmm... Begini, Pak. Bagaimana saya harus memulainya, ya? Ehmm,” wajah Herman nampak gugup.
“Begini, Pak Toto. Sebenarnya saya itu... saya itu... Eh, Dicky itu adalah calon menantu saya. Rencananya saya akan menikahkan Dicky dengan anak gadis saya selepas masa pidananya yang tinggal dua minggu lagi. Makanya saya ingin ketemu sama Dicky supaya...”
Brengsek! Ini pasti Herman... Hermanuddin, jaksa yang menuntut si Dicky karena memacari anak gadisnya! pikiran Toto berkecamuk.
“... supaya Dicky merasa tenang, dan kamipun tenang.”
“Tenang bagaimana maksudnya, Pak Herman?” tanya Toto menyelidik.
Sesaat setelah Herman menghilang dari pandangan di jendela rumah Toto, memasuki bangunan lapas, pikiran Dicky menerawang, Sebentar lagi pasti ada petugas yang menjemputku karena Herman keparat itu ingin bertemu denganku dan mengancam agar aku menjauhi anaknya begitu aku bebas dari penjara ini. Bagaimana mungkin aku mendekati Rina lagi? Yang selalu terbayang tentang dia adalah ayahnya yang membuat hidup sengsaraku tambah sengsara. Tiga tahun ini sudah cukup buatku untuk bisa memaafkannya. Untuk melepaskan keinginanku membalas dendam atas derita yang aku alami di balik tembok penjara ini. Untuk apa dia datang ke sini, padahal aku sudah memaafkannya. Kehadiran bangsat itu di hadapanku hanya membangkitkan dendamku karena hukuman yang kuterima atas kejahatan yang tidak pernah aku lakukan terhadap siapapun!!
Dia merasa harus menghilang agar tidak bertemu dengan Herman. Namun dia juga tidak mungkin meninggalkan Vito sendirian di rumah. Benaknya bergulat supaya dia tidak perlu bertemu dengan orang yang telah memenjarakannya, untuk menghindari kekerasan yang pasti akan dilakukannya terhadap Herman, dan juga supaya tidak melanggar kepercayaan yang telah Toto berikan untuk menjaga Vito dan rumahnya. Kemudian setelah memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi, dengan mengendap-endap namun pasti, setelah menuliskan pesan, Dicky membawa Vito melalui pintu belakang. Menjauh dari komplek perumahan itu.
“... baiklah kalau itu memang maksud Bapak. Karena setahu saya, Dicky sudah memaafkan tuntutan tersebut dan berusaha melupakan anak Pak Herman,” ujar Toto.
“Ya Pak, eh,” Herman terdengar ragu, “Saya pun sangat menyesal telah berbuat seperti itu kepada Dicky. Dan yang paling membuat saya sedih adalah anak saya yang semenjak Dicky berada di penjara, dia tidak lagi mau mengurus diri. Tidak pernah makan, mandi, rambutnya dibiarkan panjang dan kusut, tidak pernah ganti baju. Hal-hal itu pada akhirnya sering dilakukan dengan paksaan oleh saya atau ibunya. Sudah empat psikiater yang mencoba membantunya, tapi sia-sia,” mata Herman tampak berkaca-kaca.
“Dia sangat terpukul hingga mengalami depresi seperti itu. Makanya, saya ke sini untuk bertemu Dicky supaya dia bersedia menikahi Rina, anak saya,” tambah Herman.
Hah, kalau aku jadi Dicky, aku tidak akan sudi menikahi anak dari orang yang pernah meremehkanku bahkan membuat aku harus berada di penjara selama bertahun-tahun. Aku akan membuatnya merasakan apa yang aku rasakan saat itu dan selama aku berada di penjara. Kalaupun aku menerima tawaran menikahi anaknya, aku tetap akan membuatnya menderita! berlagak memeriksa arsip-arsip di meja, padahal batin Toto berkecamuk. Mengapa baru sekarang dia menyadari hal itu, setelah anaknya mengalami depresi dalam dan gila?!
“Ya ya, Pak Herman, saya sangat paham,” ujar Toto berusaha menenangkan.
“Sebentar, Pak,” sambung Toto, “Lusi, bisa minta Pak Halik supaya mengantar Pak Herman ini ke ruang berkunjung! Saya akan ke rumah sekalian memanggil Dicky.”
“Siap, Pak!” jawab Lusi sigap.
“Pak Herman saya tinggal dulu ya! Ini Lusi yang akan mengantar Bapak ke ruang berkunjung.”
“Silakan, Pak... silakan. Terima kasih banyak, Pak Toto!” Herman antusias.
“Sama-sama, Pak!” jawab Toto seraya berjalan meninggalkan ruangan.
***
Pak Toto tidak perlu cemas. Saya terpaksa meninggalkan rumah agar tidak bertemu petugas yang akan meminta saya menemui Herman, jaksa yang menuntut hukuman penjara karena saya dan anaknya saling mencintai. Bapak sendiri tahu banyak tentang perasaan saya terhadap masalah tersebut, sudah cukup sering saya membahasnya bersama Bapak. Saya berharap Bapak bisa memahaminya.
Vito saya bawa karena saya tidak tega meninggalkannya sendirian di rumah. Saya akan menjaganya. Jangan khawatir karena saya menganggapnya anak saya sendiri.
Jika saya sudah melihat Herman meninggalkan komplek, saya akan kembali ke sini. Saya tidak akan pernah mau menemuinya untuk ketenangan saya sendiri. Setelah tiga tahun dipenjara, saya ingin hidup tenang.
Sekali lagi, Bapak tidak perlu khawatir mengenai Vito dan kepercayaan yang telah bapak berikan pada saya. Hormat saya, Dicky.
Tulisan itu ditemukan Toto di secarik kertas yang sengaja diletakkan di atas meja ruang tamu rumahnya. Memang Dicky sering membahas dengan Toto tentang dendam kesumatnya kepada Herman, dan bahwa jika dia terus mengingatnya maka dendamnya akan semakin menjadi-jadi. Sebagai petugas pemasyarakatan, Toto sangat paham dengan pikiran dan perasaan yang berkecamuk di dalam dirinya tentang hal itu. Tetap saja saat itu Toto sangat mengkhawatirkan Vito, anak bungsunya yang dibawa serta kabur. Dicky sialan! batinnya.
Toto mengangkat gagang telepon bermaksud menghubungi Lilis, memberitahukan bahwa Vito dibawa Dicky kabur untuk bersembunyi. Namun segera diurungkan niat tersebut, karena dia pikir justru akan menambah kepanikan. Kemudian diangkatnya lagi gagang telepon tersebut. Kali ini Toto menghubungi kantornya untuk memberitahukan kejadian di rumahnya itu.
Dari balik tembok belakang rumah Toto, tempat persembunyiannya, Dicky tercengang mendengarkan suara gaduh petugas-petugas lapas dan suara peluit tanda bahwa ada narapidana yang kabur. “Waduuuh?!” pekiknya sambil memeluk Vito yang tertawa senang akan keramaian itu.
Makassar, 27 Februari 2008
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H