Istilah pengorganisasian rakyat mengandung pengertian yang luas dari kedua akar katanya. Istilah ‘rakyat’ tidak hanya mengacu pada perkauman (community) yang khas, dalam konteks yang lebih luas, juga pada masyarakat (society) pada umumnya. Sementara ‘pengorganisasian’ lebih dimaknai sebagai suatu kerangka menyeluruh dalam rangka memecahkan masalah ketidakadilan sekaligus membangun tatanan yang lebih adil. Mengorganisir rakyat sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari analisa tentang apa yang terjadi, menyangkut cara pandang terhadap ketidakadilan dan penindasan di sekitar kita. Oleh karena itu proses pengorganisasian harus dirumuskan sejelas mungkin, baik oleh rakyat itu sendiri maupun orang-orang luar yang terlibat dalam proses tersebut.
Sejumlah permasalahan dihadapi masyarakat, termasuk Indonesia, sejak dicanangkannya ‘perang terhadap narkoba’ pada tahun 1971 di Amerika Serikat. Ketidakadilan, khususnya dalam hal penegakan hukum terhadap pengguna napza, yang berdampak pada kehidupan sosial ekonomi di banyak negara merupakan landasan upaya-upaya advokasi. Sebuah studi yang dilakukan di 89 kota besar di AS menunjukkan ketidakterkaitan antara produk hukum yang represif dengan penurunan populasi pengguna napza, namun semakin represif kebijakan napza di suatu wilayah, semakin tinggi prevalensi HIV di kalangan pengguna napza suntik. Dalam penerapannya, kebijakan-kebijakan represif untuk menanggulangi masalah napza justru melahirkan pelanggaran-pelanggaran kemanusiaan yang dilakukan oleh aparat penegaknya mulai dari kekerasan fisik, pemerasan, hingga pelecehan seksual.
Dari kondisi ketertindasan dan ketidakadilan yang dialami para pengguna napza, yang pada gilirannya dialami oleh masyarakat sebagai akibat kegagalan negara dalam melindungi warganya dari peredaran gelap napza, proses pengorganisasian mendapatkan akarnya di dalam masyarakat. Keberpihakan pada kepentingan masyarakat luas, menjalin hubungan dengan aliansi strategis dan taktis, memperhitungkan budaya dan nilai-nilai setempat, serta mempersiapkan untuk ketidakberterimaan merupakan prinsip-prinsip yang yang mutlak ada dalam proses.
Pengguna Napza dan Masyarakat
Penolakan terjadi di banyak tempat di masyarakat terhadap pengguna napza. Klaim bahwa sebuah desa bebas narkoba menjadi umum di Indonesia sejak akhir tahun 90-an. Tidak hanya di ranah publik, penolakan ini juga terjadi di ranah domestik. Adanya penggunaan napza di dalam sebuah keluarga ditutup erat, aib, agar tidak diketahui oleh anggota keluarga lainnya seperti kakak atau adik bahkan kalau perlu ayah.
Di lingkungan sosial, penolakan dilakukan melalui berbagai media. Tema anti narkoba menghiasi spanduk, billboard, dan poster yang dipasang di ruang-ruang publik. Kebanyakan pesannya menakut-nakuti dan banyak pula yang hanya menampilkan slogan singkat untuk melengkapi reklame sebuah produk komersial. Informasi yang tidak lengkap, bahkan kebanyakan menyesatkan, disebarluaskan sekedar untuk menunjukkan dampak-dampak buruk dan kesengsaraan hidup seorang pengguna supaya masyarakat takut untuk mengkonsumsi napza. Strategi pendidikan seperti ini sayangnya juga banyak dianut oleh media massa dan pekerja seni, sehingga pesan anti narkoba yang menakut-nakuti kemudian menjadi arus utama pendidikan mengenai napza yang dijejali ke masyarakat melalui berbagai media.
Masyarakat dengan tingkat kedewasaannya sendiri sebenarnya mampu untuk mengolah informasi tentang napza yang banyak disampaikan, tidak ditelan begitu saja. Buruknya penegakan hukum di negeri ini, tak terkecuali untuk kasus narkoba, telah banyak menimbulkan antipati masyarakat terutama pada kampanye yang hanya bersifat slogan. Apalagi bagi yang pernah mengalami ketidakadilan dalam permasalahan napza. Namun sejauh mana kebersediaan untuk berdiri menentang arus utama informasi, yaitu perang terhadap narkoba, merupakan resiko tersendiri yang harus diambil sebagai anggota masyarakat di tengah masih banyaknya tokoh masyarakat yang mendongkrak popularitasnya melalui tema-tema anti narkoba.
Layanan Publik bagi Pengguna Napza
Penolakan di masyarakat tidak serta merta menghilangkan peredaran napza yang dikuasai oleh sindikat kejahatan terorganisir, sehingga aktivitas menggunakan napza tetap ada dan kemudian dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Bukan hanya aktivitas konsumsi napzanya saja, namun juga status sebagai pengguna tidak pernah disampaikan secara terbuka, minimal kepada keluarga. Ketertutupan inilah, kecuali kepada sesama pengguna, yang menjauhkan para pengguna dari layanan-layanan publik yang tersedia. Selain ketakutan terhadap penolakan masyarakat, para pengguna terutama takut akan hukuman pidana yang mengancam atas konsumsi napzanya yang dikategorikan sebagai tindak kejahatan.
Dalam hal kesehatan, pengguna napza (serta masyarakat tidak berduit secara umum) banyak yang tidak memperoleh layanan yang memadai, khususnya untuk peralatan steril yang dibutuhkan agar terhindar dari penularan virus darah. Ketakutan akan keterlibatan dalam tindakan kriminal (konsumsi napza) membuat para penyedia layanan kesehatan enggan memberikan peralatan suntik steril kepada mereka yang ingin memperolehnya namun dicurigai akan digunakan untuk konsumsi napza. Tindakan mempersulit perolehan peralatan steril ini banyak dilakukan seiring dengan maraknya pemberantasan narkoba atas disahkannya UU Narkotika dan Psikotropika pada tahun 1997. Kondisi ini menyuburkan praktek penggunaan peralatan suntik secara bergantian yang berdampak langsung pada peningkatan kasus infeksi HIV di kalangan pengguna napza suntik dalam sepuluh tahun terakhir.
Walaupun saat ini telah banyak dibuka layanan kesehatan termasuk penyediaan alat suntik steril dan substitusi napza yang ditujukan untuk mengurangi dampak sosial ekonomi konsumsi napza, namun layanan yang diselenggarakan di pusat-pusat kesehatan masyarakat ini belum didukung oleh kebijakan pemerintah daerah. Sehingga anggaran untuk layanan ini masih mengandalkan sumber-sumber dari bantuan pusat maupun asing yang kesinambungannya belum jelas. Hal ini tidak semata-mata terjadi karena tidak dimasukkannya anggaran layanan bagi pengguna napza tersebut ke rapat pengajuan anggaran di DPRD, namun lebih kepada tidak adanya keberpihakan pemangku kepentingan di daerah terhadap masyarakat agar terlindung dari peredaran gelap napza.
Kebijakan Pelarangan Napza
Keberpihakan pemangku kepentingan di tingkat pusat maupun daerah pada akhirnya ditentukan oleh kebijakan napza berupa undang-undang yang berlaku secara nasional. Undang-undang tentang napza yang berlaku saat ini masih sarat dengan ancaman kurungan dan denda kepada pengguna yang juga tidak dapat dibedakan secara tegas dengan para pengedar. Sehingga orang yang baru coba-coba namun tertangkap tangan memiliki satu linting ganja akan mendapat tuntutan hukuman yang sama dengan pemilik 5 gram heroin, yaitu kurungan minimal empat tahun dan denda 800 juta rupiah.
Sebelum disahkannya UU Narkotika baru pada tahun 2009, populasi penghuni lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan negara telah melebihi kapasitas huninya sebesar 54.8%. Kelebihan jumlah hunian ini adalah sebagai akibat dari dipenjarakannya 175,000-an WNI atas kasus narkoba sejak 1997. Sementara komposisi terbanyak penghuninya dari kasus narkoba adalah pengguna sebesar 74% yang kontras dengan jumlah produsen yaitu hanya sebesar 2%. Jumlah ini sangat dimungkinkan karena pelarangan dan pemberantasan yang tertuang dalam UU Narkotika dan Psikotropika RI melalui ancaman hukumannya justru menyuburkan peredaran narkoba di jalanan dengan keuntungan yang sangat menjanjikan. Ketika diedarkan di jalanan, napza dapat dikonsumsi oleh siapapun dan keberadaannya tidak dapat dikendalikan. Asalkan ada modal, seseorang dapat memproduksi napza dan menjajakannya dimana saja karena tidak ada regulasi yang mensyaratkan tempat penyediaan, kelayakan memproduksi, serta batasan konsumen.
Pelarangan dan pemberantasan justru mendekatkan napza kepada masyarakat termasuk anak-anak dan remaja. Ditambah kampanye anti narkoba, yang sebenarnya menjadi iklan gratisan bagi para produsen, pasar untuk komoditas ini dapat tetap terjamin di masyarakat karena informasi yang tidak lengkap dan menakut-nakuti malah membuat sejumlah orang penasaran dan ingin mencobanya. Melalui kebijakan pelarangan dan pemberantasan napza, sebenarnya masyarakat menjadi korban, karena bukannya terlindung tapi malah semakin terpapar peredaran napza yang berpotensi baik untuk mengkonsumsi maupun menjadi pengedar karena keuntungannya yang tinggi dan bebas pajak.
Upaya Mengorganisir Korban
Pengorganisasian korban napza di Indonesia telah berlangsung sejak 2006 dengan pembentukan jaringan nasional yang melahirkan simpul-simpul pengorganisasian di daerah-daerah. Kelompok-kelompok korban napza lokal mulai tumbuh seiring dengan menguatnya dukungan bagi jaringan korban napza di tingkat nasional. Secara umum, pengorganisasian korban napza di Indonesia bertujuan:
- Sebagai upaya reintegrasi dengan masyarakat yang telah sekian lama menolak keberadaan korban napza di tengah-tengah masyarakat. Upaya-upaya untuk memisahkan antara korban dan pelaku tindak kejahatan narkoba telah mampu menggalang dukungan dari berbagai lapisan masyarakat yang bersama-sama melakukan advokasi atas ketidakadilan yang dialami. Pada gilirannya pengorganisasian tidak hanya diarahkan hanya kepada korban napza tetapi juga pengorganisasian dukungan dan aliansi sehingga pemberdayaan korban napza juga bermanfaat bagi pemecahan masalah-masalah yang ada di masyarakat.
- Sebagai ajang pembuktian terbalik terhadap cap buruk yang selama ini disebarluaskan ke tengah masyarakat tentang korban napza. Melalui organisasi yang dibangun, korban napza memperjuangkan kesempatan untuk dapat menjadi bagian dari masyarakat yang bertanggung jawab, memiliki prestasi, bersama-sama memberdayakan komunitas, dan saling melindungi.
- Sebagai alat propaganda. Kelompok korban atau pengguna napza merupakan kelompok yang keberadaannya ditolak atau dianggap tidak pernah ada di tengah masyarakat. Melalui eksistensi kelompoknya, para korban napza dapat saling memperkuat dan menegaskan keberadaannya di tengah masyarakat dan pemangku kepentingan lainnya. Dengan demikian dominasi kampanye perang terhadap narkoba yang hanya menakut-nakuti dapat ditandingi melalui informasi yang disampaikan langsung oleh korban didukung bukti-bukti ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
Sistem yang Melindungi Masyarakat
Permasalahan-permasalahan napza yang dihadapi masyarakat terutama disebabkan oleh lemahnya sistem yang melindungi masyarakat dari peredaran gelap napza. Sehingga pengorganisasian korban napza bersama masyarakat merupakan sebuah proses untuk upaya-upaya membangun mekanisme perlindungan masyarakat dari dampak sosial ekonomi peredaran gelap napza. Proses ini tentu saja melibatkan berbagai pihak terutama negara yang secara konstitusi berkewajiban melindungi dan mensejahterakan warganya.
Dari permasalahan napza yang dihadapi masyarakat sejak sepuluh tahun terakhir, maka pengorganisasian perlu memiliki dampak terhadap peningkatan taraf kesehatan dan sosial ekonomi korban. Bidang-bidang kehidupan inilah yang terdampak langsung oleh penerapan perang terhadap narkoba: pemenjaraan, penularan penyakit, dan penolakan pengguna napza di ruang-ruang publik dimana lapangan kerja dan pendidikan terselenggara.
Dengan diterimanya korban napza di ruang-ruang publik, maka informasi tentang napza tidak lagi menjadi informasi yang tabu dibicarakan. Napza dikenal tidak hanya dari sisi buruk untuk dihindari, namun lebih dari segala sisi sehingga memungkinkan bagi masyarakat untuk dapat mengurangi dampak sosial ekonomi ketika harus mengkonsumsinya. Hal ini dimungkinkan ketika napza dibicarakan secara terbuka baik di ruang-ruang publik maupun di ranah domestik pada segala tingkatan usia.
Pada akhirnya, upaya-upaya untuk melindungi masyarakat dari dampak buruk atas konsumsi napza perlu dilembagakan melalui perundang-undangan yang tidak hanya sekedar mengancam dengan hukuman-hukuman pidana, namun lebih kepada pengaturan dan pengendalian baik produksi, distribusi, maupun konsumsi napza. Melalui pengaturan yang kuat maka ketersediaan, kualitas, dan harga dapat dikendalikan oleh negara melalui pusat-puast layanannya, bukan dikuasai sindikat kejahatan terorganisir dengan motif mengeruk keuntungan, dengan pengawasan sosial dari masyarakat.
***
Patri Handoyo
Lokakarya Nasional Penelitian Komisi Penanggulangan AIDS | Jakarta, 8 Desember 2009
Toto Rahardjo. Pengorganisasian Rakyat – Perdikan Yogyakarta, 2006
Friedman et al, AIDS 2006, 20: 93-99
Pelanggaran HAM pada Komunitas Penasun: Pengumpulan Data 12 Kota di Indonesia – JANGKAR & OSI, 2008
Statistik Kasus HIV/AIDS di Indonesia. Ditjen PPM & PL Depkes RI, 2009
Ditjen Pemasyarakatan, 2009
Ibid
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H