Mohon tunggu...
Sutanto Kosasi
Sutanto Kosasi Mohon Tunggu... Guru - Teacher

To infinity and beyond...

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Bisakah Vaksin Covid-19 Dihasilkan dari Kelelawar atau Trenggiling?

31 Maret 2020   07:54 Diperbarui: 31 Maret 2020   08:42 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesehatan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Schantalao

Ketika flu burung (avian flu/H5N1) dan flu babi (swine flu/H1N1), baik burung dan unggas lainnya serta ternak babi yang terinfeksi virus-virus penyebab kedua jenis flu ini telah menjadi korban utama. Jutaan burung dan unggas mati setelah terinfeksi atau dimusnahkan oleh manusia untuk mencegah penyebaran yang lebih meluas. Hal yang sama dialami ternak babi, puluhan/ratusan ribu mati karena terinfeksi dan sebagian juga terpaksa dimusnahkan.

Sementara virus flu burung jarang menginfeksi manusia (hanya 300-an kasus per 19 Juni 2008 (archive.org/who.int), virus flu babi ternyata cukup efektif menginfeksi manusia, dan selanjutnya flu babi menjadi wabah di seluruh dunia di tahun 2009, yang mana lebih disebabkan penyebaran virus dari manusia ke manusia daripada babi ke manusia. 

Jumlah pasien yang terjangkit flu babi termasuk sangat tinggi (700 juta-1,4 miliar orang (wikipedia.org) jika dibandingkan dengan pasien yang menderita flu Spanyol di tahun 1918-1920 (500 juta orang (wikipedia.org), namun angka kematian akibat flu babi lebih rendah (150-575 ribu korban jiwa) dibanding angka kematian akibat flu spanyol (17-50 juta korban jiwa).  

Lalu ada virus MERS, dimulai dari periode tahun 2012, yang disebut berasal dari unta dan turut menjangkiti cukup banyak manusia serta mengakibatkan rasio angka kematian yang cukup tinggi (1,329 kasus terlapor dengan korban jiwa mencapai 525 orang (wikipedia.org). Untuk melengkapi wabah yang terjadi dalam dua dekade terakhir adalah wabah SARS yang disebut (juga) berasal dari kelelawar. Mulai terjadi atau diketahui kasusnya sejak tahun 2002, wabah ini telah menjangkiti 8,096 orang dengan korban meninggal 774 (wikipedia.org).

Yang menjadi perhatian saya adalah bahwa empat jenis virus penyebab wabah H5N1, H1N1, MERS dan SARS  berasal  dari hewan, dimana sebagian hewan inang/perantara (carrier/animal reservoir) mati sebagian lagi tidak. Burung dan unggas serta babi sebagian besar mati sementara unta sebagai inang virus MERS dan kelelawar sebagai inang virus SARS bisa bertahan hidup [catatan: Virus SARS berasal dari kelelawar hanya bersifat kemungkinan (who.int). 

Saya telah mencoba mencari dari website ke website tentang adanya laporan penemuan kelelawar yang mati dalam jumlah besar, tapi saya tak bisa menemukan satu pun berita tentang hal itu. Kemungkinannya adalah karena domisili kelelawar di dalam goa-goa atau di kawasan hutan yang jauh dari jangkauan manusia sehingga kalaupun ada sejumlah besar kelelawar yang mati karena virus pada saat bersamaan, tentunya hal itu berada di luar sepengetahuan manusia. Kemungkinan lain adalah para kelelawar ternyata tidak mati walaupun tubuh mereka mengandung virus SARS).

Lalu kenapa burung dan unggas serta babi bisa mati karena virus H5N1 dan H1N1 yang menyerang mereka sementara unta dan kelelawar yang terpapar virus MERS dan SARS bisa bertahan hidup? Jawabannya adalah karena unta bisa menghasilkan antibodi yang memadai untuk melawan virus MERS (livescience.com) sementara kelelawar kurang lebih juga melakukan hal yang sama (sciencealert.com).

Lantas bagaimana dengan hewan inang virus COVID-19, yang diperkirakan juga berasal dari kelelawar lalu menular ke trenggiling dan selanjutnya menular ke manusia? Apakah ada berita penemuan tentang kelelawar atau trenggiling yang mati karena virus tersebut? Sejauh yang saya cari, tidak ada sama sekali. 

Jikalau mereka memang hewan inang virus COVID-19 dan kematian mereka akibat virus tersebut tidak diketahui, maka kemungkinannya sama seperti tulisan saya diatas: tidak terpantau oleh manusia atau mereka tidak mati walaupun tubuh mereka mengandung virus jahat tersebut. Dan kenapa mereka tidak mati? Karena seperti halnya unta terhadap virus MERS dan kelelawar terhadap virus SARS, tubuh mereka menghasilkan antibodi untuk melawan virus COVID-19.

Belakangan ini, ada banyak berita yang membicarakan tentang penggunaan plasma darah pasien COVID-19 yang telah sembuh untuk ditransfusikan ke pasien penderita COVID-19 dengan harapan hal itu bisa membantu menciptakan antibodi eksternal untuk setidaknya menahan virus COVID-19 sehingga tidak sampai menyebabkan kematian. (detik.com; theguardian.com). Bagian darah yang mengandung antibodi (biasanya berbentuk protein) akan “dipanen” untuk selanjutnya diberikan atau ditansfusikan ke pasien penderita. Metode ini telah digunakan sejak masa lalu dan mempunyai tingkat keberhasilan yang cukup tinggi (theatlantic.com) Kenyataan ini tentunya menjadi berita yang menggembirakan bagi kita semua.

Namun, satu hal yang menjadi pertanyaan bagi saya adalah: Apabila plasma darah pasien (dalam hal ini antibodinya) yang sudah sembuh bisa digunakan untuk melawan virus COVID-19, kenapa para ilmuwan tidak mencoba “memanen” plasma darah atau antibodi dari kelelawar atau trenggiling? Apakah karena itu akan memakan waktu yang sangat lama? Apakah karena hal itu tidak memungkinkan? Apakah karena kelelawar juga mengandung virus jahat lain sehingga tidak aman untuk menggunakan antibodinya untuk dijadikan vaksin? Atau apakah para ilmuwan memang tidak terpikirkan tentang hal itu?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun