Semingguan yang lalu di sela safari politik kebangsaan jilid IX di Bandar Lampung, Hasto Kristiyanto, Sekretaris Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Amin berkata "Kalau menjadi presiden, bahasa Inggrisnya harus hebat. Pak Prabowo kalah dari Cinta Laura. Cinta Laura saja yang menjadi presiden."
Mengomentari hal itu (dan juga tanggapan Cinta Laura), jubir BPN Rachland Nashidik membalas,"Kalau begitu alur logikanya, maka harusnya kita jangan pilih Jokowi dong. Cinta Laura yang fasih berbahasa Inggris saja mengaku tak mampu, konon pula yang tak bisa berbahasa Inggris? Begitu bukan?"
Kasihan Mbak Cinta Laura yang cantik itu jadi ikutan terseret dalam polemik soal kemampuan bahasa calon pemimpin di Indonesia. Untunglah penyanyi dan artis cantik ini bisa menanggapinya dengan santai,"Jadi Presiden itu berat! Biar Pak Jokowi saja!"
Komentar Cinta Laura seakan menjadi indikasi bahwa dia mendukung Jokowi...wait....bukan itu yang saya maksud. Saya ulangi, komentar Cinta Laura seakan menjadi indikasi bahwa dia sedang mengingatkan baik pihak pendukung Jokowi maupun Prabowo bahwa ada hal yang lebih esensial untuk menjadi seorang presiden daripada sekedar skill bahasa Inggris.Â
Walaupun dia tidak menyebutkannya, dari kalimat "jadi presiden itu berat" itu kita pun maklum bahwa maksud doi adalah masih ada/banyak hal diluar skill bahasa Inggris yang perlu dimiliki seseorang untuk menjadi seorang presiden, misalnya pengalaman dan pengetahuan tentang ekonomi, politik, hukum dan pemerintahan. Berat memang!
Skill bahasa Inggris tentunya menjadi nilai lebih dalam hal diplomasi internasional, tapi jangan lupakan juga fakta bahwa banyak pemimpin dunia yang tidak fasih atau jarang berbahasa Inggris walaupun sedang berada dalam forum internasional seperti Presiden Putin, Presiden Xi Jinping, Presiden Recep Tayyip Erdoan, Kanselir Angela Merkel, dan Perdana Menteri Shinzo Abe. Lalu ada Presiden Perancis, Emmanuel Macron dan Perdana Menteri India, Narendra Modi sebagai contoh dua pemimpin negara yang sebenarnya fasih berbahasa Inggris namun lebih memilih untuk menggunakan bahasa asli mereka sendiri.Â
Kemungkinan penyebab para pemimpin ini menolak untuk berbahasa Inggris (yang tidak familiar bagi mereka) adalah karena "kata-kata mereka sangat penting dan mereka tidak mau terjadi kesalahpahaman dalam penyampaian".Â
Teori kemungkinan ini tentunya sangat dimengerti oleh para pembicara bahasa Inggris yang menggunakan grammar bahasa Inggris dengan baik dan benar, bahwa satu kesalahan dalam grammar saja bisa mengakibatkan kesalahpahaman.
Teori berikutnya tentang "nggak terlalu penting menggunakan bahasa Inggris" adalah tergantung dengan negara mana kita banyak berhubungan. Misalnya begini, kalau selama ini sebagian besar hubungan dagang kita terjadi dengan negara-negara seperti Mexico, Jepang, Cina, atau Perancis maka otomatis penggunaan bahasa Inggris jadi nggak penting karena mereka juga nggak menggunakan bahasa Inggris.
Skill bahasa Inggris memang penting tapi kalau dijadikan polemik terus-menerus seolah-olah itulah yang menentukan kemampuan seseorang untuk menjadi presiden seperti yang diutarakan Rachland Nashidik juga nggak tepat.Â
Dan kalau di balik, pendukung Jokowi juga sebaiknya menghentikan polemik tentang Prabowo (entah) bisa berbahasa Arab atau nggak. Misalnya, yang baru-baru ini terjadi, Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Amin angkat bicara soal sikap Prabowo yang menolak bernyanyi bersama Nissa Sabyan. Achmad Baidowi dari TKN menyebut bahwa Prabowo mungkin takut salah (karena lirik lagunya mengandung bahasa Arab).