Saat usai pentas "Putra Sang Maestro", di atas panggung, saya  berbisik ke Mas Butet: "Putra Sang Maestro!". Lantas, tanpa "kode" Mas Butet dan Saya pun tertawa lepas. Apa makna tertawa itu? Mudahlah ditafsir... he he.
Saat Mas Butet Kartaredjasa, usai memberikan sambutan pembuka sebelum pemetasan, hanya satu kata yang dapat saya ungkap atas penjelasannya, yaitu "prihatin".
Jadi, sebelum pentas Putra Sang Maestro yang naskahnya ditulis dan sutradarai oleh Agus Noor, saya prihatin. Usai pentas, saya dan Mas Butet, tertawa. He he.
Prihatin jadikan solidaritas kuat
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata "prihatin" berarti bersedih hati, waswas, atau bimbang. Bagaimana tidak, meski rezim telah berganti, nyatanya pihak yang berseberangan dengan rezim, tetap saja langkahnya dipersulit, meski melalui jalur kesenian-kebudayaan.
Indikatornya, sponsor yang tadinya akan mendukung tiba-tiba mundur. Ya, karena pengaruh kereziman itu. Namun, bukan Indonesia Kita namanya, bila produksi pentas ke-43 lantas batal gara-gara ada tindakan menyulitkan.
Karenanya, di tengah gemuruh arus perubahan yang rezimnya estafet, Indonesia Kita yang digagas oleh Butet Kartaredjasa, almarhum Djaduk Ferianto, dan Agus Noor, tetap dapat hadir untuk memelihara identitas bangsa melalui seni meski tanpa dukungan sponsor untuk biaya produksi seperti tahun-tahun sebelumnya.
Mas Butet pun mengungkapkan, demi tetap terselenggaranya pentas, teman-teman berinisiatif untuk sama-sama patungan. Tim artistik rela menyesuaikan bujet yang tersedia, sementara tim produksi giat menghubungi penonton setia Indonesia Kita untuk membeli tiket donasi. Intinya, semua berusaha semaksimal mungkin agar pertunjukan tetap berjalan, sejalan dengan komitmen Indonesia Kita dalam merawat nilai kebudayaan.
Mas Butet menegaskan, kondisi yang dialami tim kali ini justru menjadi bukti keberhasilan Indonesia Kita dalam membangun ekosistem budaya yang solid. "Dukungan dari setiap elemen, mulai dari aktor, tim artistik, hingga penonton yang rela berdonasi, memperlihatkan bahwa Indonesia Kita telah membangun jaringan budaya yang kokoh.
Melalui solidaritas inilah, Mas Butet optimis bahwa masyarakat masih sangat mendukung inisiatif berkesenian yang mengedepankan akal sehat dan nurani.
Terlebih, lakon "Putra Sang Maestro" bukan sekadar hiburan, tetapi juga bentuk nyata dari tekad untuk memelihara kebudayaan Indonesia. Di tengah keterbatasan, tim Indonesia Kita membuktikan bahwa seni dapat terus hidup berkat semangat kebersamaan. Melalui lakonnya, mereka menghadirkan pesan yang menggugah, bahwa martabat dan penghargaan tidak selalu bergantung pada gelar, tetapi pada ketulusan hati.