Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat pendidikan nasional dan sosial. Konsultan pendidikan independen. Prakitisi dan Narasumber pendidikan. Praktisi Teater. Pengamat sepak bola nasional. Menulis di berbagai media cetak sejak 1989-2019. Ribuan artikel sudah ditulis. Sejak 2019 rehat menulis di media cetak. Sekadar menjaga kesehatan pikiran dan hati, 2019 lanjut nulis di Kompasiana. Langsung meraih Kompasianer Terpopuler, Artikel Headline Terpopuler, dan Artikel Terpopuler Rubrik Teknologi di Akun Pertama. Ini, Akun ke-Empat.

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Makan Malam, Lagi?

19 Februari 2024   10:19 Diperbarui: 19 Februari 2024   10:19 106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Supartono JW

Bahkan sangat jelas pula rangkaian prosesnya, sejak perencanaan, proses produksi, hingga jatuh di tanggal dan hari pementasannya.

Bagian proses ini, tentu sudah sangat diperhitungkan dengan detail kelemahan dan kekuatannya, kerugian dan keuntungannya.

Di sinilah, dari rencana, proses, hingga pertunjukan dapat disebut sebagai pekerjaan yang wajib terstruktur, tersistem, dan masif. Semua bagian adalah penting. Saling terkait. Saling mendukung. Bila tidak masif, bila siapa yang pentas tidak memiliki nama besar, mana mungkin kursi di gedung pertunjukan akan dipenuhi penonton.

Sayangnya, semua hal terkait Pilpres 2024 yang sudah dilakukan persiapan, perencanaan, dan prosesnya secara terstruktur, tersistem, dan masif ini, bisa jadi oleh ketiga kubu peserta Pilpres, yang mampu memenangkan, tentunya, adalah kubu yang memiliki stakeholder terkait dan mengait.

Lebih miris lagi, penonton (baca: rakyat jelata) yang menjadi bagian dari pertunjukan, yang memiliki hak pilih, yaitu pertunjukan politik (baca: Pilpres 2024), yang tahu bahwa pertunjukan ini sudah ada yang mengatur dengan terstruktur, tersistem, dan masif tidak kurang dari 30 persen.

Sementara ada lebih dari 70 persen rakyat jelata yang memiliki hak pilih, tetapi masih belum cerdas pikiran dan hati. Tidak dekat dengan dunia pengusung perubahan.

Untuk memenangi Pilpres hanya butuh suara minimal 51 persen untuk menang. Jadilah yang 70 persen rakyat pemilih suara ini, makanan empuk yang dapat digarap dengan mudah dengan skenario, penyutradaraan, serta aktor yang mumpuni. Strategi klasik pun digunakan, yaitu terstruktur, tersistem, dan masif.

Berhasil dengan strateginya. Kini, strategi berikutnya, pun sudah berhasil menggaet pengusung utama perubahan, bisa menghadiri undangan makan. Siapa berikutnya?

Sebagai rakyat jelata, saya melihat dan menonton pertunjukan drama politik ini, sebagai hal yang biasa saja. Ada pihak yang masih menggebu, mencari dan mengumpulkan bukti kecurangan Pemilu.

Saya pikir, itu hanya menghabiskan waktu, energi, dan uang. Tetapi, bisa jadi, ini hanya bagian dari skenario politik pula. Sebab, sepertinya, masalah curang nanti juga akan hilang berganti dengan rekonsiliasi. Ha ha ... .

Lihatlah, setiap kali ada yang berpendapat dan bertanya kepada pihak yang "itu", jawabnya: "Silakan laporkan kecurangan. Kan ada mekanismenya. Ada jalurnya. Laporkan saja".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun