Budaya membaca hanya judulnya, lalu sok tahu. Padahal tidak tahu masalah dan kurang berilmu. Tawuran pelajar/mahasiswa/warga, menjadi tradisi. Perseteruan berbagai hal, membudaya.
Di kehidupan nyata, sering kita jumpai keributan antar sesama manusia pengguna jalan raya. Sebabnya, selain tidak dapat menguasai kendaraan dengan benar dan baik. Juga karena si manusianya masih miskin kecerdasan IQ-EQ dan religi.
Di sepak bola, meski sudah ada pemain naturalisasi, tetap saja dalam uji coba jelang Piala Asia 2024, timnas Indonesia jatuh ke lobang yang sama tiga kali, alias kalah.
Di media sosial, kegaduhan juga tidak pernah berhenti. Jangankan ada masalah yang memang harus ditanggapi dan viral. Tidak ada masalah pun, orang-orang sangat mudah membuat masalah. Malah dibuat konten demi uang.
Di dunia politik, lihatlah berbagai pihak menggoreng apa pun demi mendukung junjungannya. Saling menelikung, menghujat, loncat partai, saling beropini, dll, seolah menjadi manusia yang paling benar dan suci. Saling tuntut menuntut,menjadi orkestra dalam drama yang mamang sudah ada penulis skenario dan sutradaranya. LUAR BIASA. Rakyat jelata, dianggap belum sampai pemikirannya ke sana. Ee lae... lae.
Bagaimana tidak itu semua terus terjadi di negeri ini, sebab yang diberikan amanah memimpin malah tebal muka, tetap percaya diri, mementingkan diri, keluarga, kelompok, demi membalas budi dan melanjutkan kontrak dengan pihak yang telah memodali.
Benang kusut bukan terurai, tetapi beranak pinak. Sebab, menguasai sesuatu tidak pernah menjadi sesuatu yang diseriusi dan ditanggapi. Rakyat  dan bangsa ini pun tetap konsisten menjadi bangsa copy paste, pemakai produk asing. Miskin kreativitas dan inovasi, tetapi rajin dan kaya dalam hal berseteru, mencintai yang bukan milik, takut kehilangan yang bukan milik, dll.
Negeri yang kaya raya akan sumber daya alam dan isinya, siapa yang menguasai? Ini semua karena sumber daya manusianya (SDM)nya  terus dijajah, lanjutan dari ilmu menjajah kolonialisme.
Namun begitu, meski berbagai pihak memahami, bahwa mampu menguasai diri, saat bersikap, bertindak, berperilaku, berakibat pada perbuatan obyektif, adil, jujur, dan amanah, sebab cerdas IQ-EQ berpondasi religi. Menggaransi seseorang dapat menguasai berbagai hal yang bersinggungan dengan dirinya di lingkungan: keluarga, masyarakat, sekolah, kuliah, pekerjaan, paguyuban, kekeluargaan, grup, kelompok, hingga kehidupan berbangsa dan bernegara.
Dalam agama Islam, Nabi SAW bersabda, "Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah terjadinya kiamat." (HR. Bukhari)
Maksud dari 'Jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya', yaitu ketika suatu urusan ditangani oleh orang-orang yang tidak ahli, tidak menguasai, tidak memiliki kemampuan, kompetensi dalam ilmu dan agama, akan tidak jujur, tidak amanah, maka sesuatu itu akan gagal/rusak/hancur.