Debat Capres-Cawapres untuk adu gagasan dan menunjukkan kompetensi dan kualitas calon pemimpin. Bukan lomba untuk menang-kalah, sekadar menjatuhkan lawan, apalagi unjuk perasaan, dan kepongahan.
(Supartono JW.23122023)
Suasana bising di +62 usai Komisi Pemilihan Umum (KPU) menggelar acara debat kedua Pilpres 2024, yaitu debat calon wakil presiden (Cawapres) yang digelar di Jakarta Convention Center (JCC) Senayan, Jakarta Pusat, Jumat (22/12/2023), tidak berbeda dengan suasana usai debat pertama calon presiden (Capres).
Narasi-narasi berhamburan di media sosial. Begitu pun di media massa cetak, online, dan televisi, saling berlomba dengan program acara yang lebih sekadar mengeksplor serta menggoreng apa yang terjadi dalam debat.
Kelompok dan pendukung Capres dan Cawapres bersangkutan memuji dan sibuk memberikan justifikasi atas adegan drama yang terjadi di panggung debat.
Sebaliknya kelompok dan pendukung Capres dan Cawapres lawan, saling serang dan menjatuhkan.
Setelah beberapa jam saya amati, hingga saya tulis artikel akibat dari suasana bising debat Cawaprer bertema Ekonomi (ekonomi kerakyatan dan ekonomi digital), Keuangan, Investasi Pajak, Perdagangan, Pengelolaan APBN-APBD, Infrastruktur, dan Perkotaan ini, saya sepakat dengan pandangan para pengamat yang telah menyampaikan opininya saat diundang menjadi narasumber di televisi.
Bahwa buah dari debat Cawapres tidak menyentuh substansi yang seharusnya. Tidak nampak kompetensi yang dibutuhkan rakyat dalam rangka mengentaskan ekonomi rakyat yang terus terpuruk.
Menang-kalah
Bahkan yang memiriskan hati, ada Cawapres yang menjadikan ajang debat untuk mencari kemenangan seperti sedang lomba cerdas cermat tingkat SD atau sekolah menengah dengan cara-cara yang jauh dari tindakan manusia intelek dalam memberikan pertanyaan, jawaban, bahasa tubuh, bahasa komunikasi.
Merasa puas dan menang saat lawannya dianggap tidak dapat menjawab pertanyaan. Padahal pertanyaan yang dilemparkan, diungkap oleh beberapa pihak dan pengamat, tidak substansif.