Golongan orang nomor (1) malah terus memanfaatkan situasi dan kondisi. Terus takut kehilangan yang bukan milik. Terus bermain-main dengan politiknya, dinastinya, oligarkinya, sesuai arahan dari yang punya skenario dan sutradara. Luar biasa.
Berbanding terbalik dengan golongan orang nomor (1) yang disebut elite dan pemimpin di negeri ini, rakyat jelata yang tergolong orang nomor (1), tetap memiliki kemampuan pemikiran dan perbuatan, mereka, tidak harus menunggu kaya harta dulu, tidak pula harus menipu dan korupsi, tetapi tetap dapat membantu masyarakat dengan kekayaan pikiran dan hatinya. Tidak harus menunggu kaya harta.
Di sisi lain, banyak rakyat jelata yang tetap meneladani para elite dan pemimpin negeri ini, juga tergolong orang nomor (1), berpikir dan perbuatannya, dalam hidup dan kehidupan di dunia ini hanya untuk diri sendiri dan keluarganya, malah sibuk memupuk kekayaan hartanya yang bahkan dengan cara tidak hak.Â
Ini sama dengan perbuatan memiskinkan pikiran dan hatinya, tetap hidup tanpa tahu diri, tanpa peduli kepada sesama. Hak orang lain pun, diambilnya.
Menyedihkan lagi, mereka tidak punya waktu untuk lingkungan dan orang lain, meski menjadi bagian di dalamnya, sebab dibutakan mata dan hatinya oleh sikap individualis, egois, materialistis.Â
Sepertinya mereka sudah terbiasa hidup untuk diri sendiri. Atau terbiasa hidup miskin harta. Lalu, menjadi orang kaya baru (OKB). Maka, tidak pernah ada pemikiran bahwa harta dan kekayaan di dunia tidak pernah akan di bawa ke kuburan, saat menghadap Tuhan. Untuk mempertanggungjawabkan amal dan perbuatan.
Orang-orang seperti ini, biasanya, memperlakukan smartphone yang setiap detik ada digenggamnya, hanya difungsikan untuk kepentingan dirinya, untuk sesuka-sukanya, untuk hobinya Mudah sekali mengabaikan pesan dan informasi yang dishare atau dibagikan dalam grup.Â
Padahal grup yang menge-share atau membagikan informasi, komunikasi utamanya hanya melalui medsos tersebut.
Sekarang mudah sekali saya, kita, menjumpai orang-orang yang tidak peduli, tidak respek, tidak tahu diri, tidak tahu diuntung, dll, meski mereka orang-orang yang pernah makan dunia pendidikan. Yang seharusnya cerdas memahami hingga menyikapi situasi, minimal dengan memberikan repson atau tanggapan di grup medsos seperti WA.
Diteladani anak-anak
Semua perilaku tersebut, kini begitu diteladani oleh anak-anak Indonesia. Bahkan, menyangkut smartphone yang oleh Mendikbudristek, Nadiem dijadikan alternatif senjata utama untuk Merdeka Belajar, bagi anak-anak usai dini dan muda, smartphone pun sudah menjadi alat untuk sekadar main game.Â