Lalu, formatnya, untuk Tingkat Kabupaten/Kota diikuti oleh semua satuan pendidikan dan menggunakan sistem kompetisi penuh.Â
Berikutnya, di Tingkat Provinsi akan mempertandingkan antar juara dari Kabupaten/Kota dengan sistem turnamen. Dan Tingkat Wilayah dan Nasional, akan mempertemukan para juara provinsi dengan sistem turnamen dan akan bergulir pada tahun 2021.
Berikutnya enak sekali, ada Surat Edaran juga disebut bahwa LSI adalah hasil dari inisiasi antara KONI Pusat bersama PSSI. Bila itu benar, mengapa PSSI bungkam? Ini ranah PSSI. Di mana dan ke mana Ketua Umum PSSI ini?Â
Apa ada dalam sejarah sepak bola nasional, timnas PSSI bukan hasil dari kompetisi resmi PSSI dan turunannya seperti Kompetisi yang diopertori oleh pihak swasta?
Setali tiga uang, rencana LSI pun didukung oleh Menteri Dalam Negeri yang kemudian menerbitkan Instruksi kepada Kepala Daerah untuk berkoordinasi dengan KONI Provinsi dan KONI Kabupaten/Kota. Selanjutnya mereka juga diharapkan berkoordinasi dengan Asprov maupun Askab/Askot PSSI daerah dan untuk masalah anggaran agar dapat direncanakan masuk dalam APBD Daerah mulai tahun 2021.
Semua itu tertuang dalam Surat dari Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor: 426/4484/SJ tanggal 6 Agustus 2020 dan Surat Nomor:426/4485/SJ tanggal 6 Agustus 2020. Semua ini sangat ironis dan memiriskan hati.
Sungguh, tak seperti sejarah lahirnya PSSI sebagai alat perjuangan dan persatuan di era penjajahan Indonesia, kini sepak bola nasional sudah berubah fungsi sebagai alat dan kendaraan bagi elite dan partai politik demi memuluskan langkah dan tujuannya yang tidak hanya sekedar memperolah kursi baik sebagai kepala daerah, duduk di parlemen maupun di pemerintahan, hingga demi menjadi pejabat publik.
Karenanya dalam beberapa Pilkada dan Pilpres sepak bola adalah kendaraan praktis bagi elite dan partai politik demi mendulang massa dan suara.
Kini, pemerintah sendiri menciptakan polemik akan menggulirkan kompetisi sepak bola yang tugas utamanya di emban oleh PSSI, dan selama bertahun-tahun direcoki oleh Kemenpora, kini, gara-gara Inpres Nomor 3 KONI turut berkesempatan menjajal  sepak bola sebagai kendaraan politiknya dengan mengadakan kompetisi sepak bola nasional.
Di mana nalarnya coba? Tapi seperti yang telah saya sebut dalam artikel-artikel saya terdahulu, saat Kemenpora ikut merecoki dengan menggelar kompetisi Liga Pelajar Indonesia (LPI), kini kok bisa KONI yang kebagian jatah harus menggelar kompetisi pelajar? Padahal baik Kemenpora maupun KONI, kan mengurus semua induk dan cabang olah raga, mengapa sepak bola yang jadi prioritas?Â
Bila memang Inpres Nomor 3 akhirnya melahirkan anggaran, mengapa tidak diberdayakan untuk PSSI mengelolanya.