Dalam kondisi pandemi corona, bersepeda memang menjadi momentum yang "pas" bagi masyarakat dalam rangka menjaga kesehatan dan imunitas tubuh. Sebab itu, sebelumnya saya sudah menulis artikel di media ini tentang sejarah sepeda, Hari Sepeda Dunia (HSS), bersepeda sebagai tren dan gaya hidup, serta rekomendasi sepeda yang cocok dan sesuai isi kantong orang Indonesia pada umumnya.
Memang dalam artikel tersebut sudah saya singgung, bahwa bersepeda jangan untuk gaya-gayaan dan harus beretika. Karenanya, saya pun menampilkan dalam cover artikel ini, perbedaan dua gaya bersepeda dari kelompok masyarakat kita.
Pesepeda, hedonisme, krisis karakter
Ternyata hanya berselang sehari setelah artikel itu saya tulis, saya langsung membaca berita tentang pesepeda yang memiriskan hati. Tak bertata krama dan tak beretika.Â
Ini akibat dari hedonisme yang terus tumbuh subur di +62 dan diinisiasi oleh para pemimpin bangsa, Â baik di parlemen dan pemerintahan, oleh orang-orang kaya baru (OKB) yang hanya
berpandangan, menganggap kesenangan dan kenikmatan materi sebagai tujuan utama dalam hidup.
 Tutup mata, telinga, dan hati tak peduli bahwa kehidupan ini sedang krisis karena corona, namun "mereka" tetap asyik dalam krisis moral dan karakter.
Sebelum gaya hidup bersepeda, selama ini masyarakat juga sudah kenyang disuguhi gaya hedonis dengan lalu-lalu lalangnya para voorijder yang menjadi "pelayan" para penunggang moge (motor gede).Â
Kini, trend sepeda mahal, semakin menunjukan kegilaan kaum hedonis yang butuh pengakuan.
Faktanya, dalam unggahan video yang menampilkan sejumlah orang membawa sepeda Brompton ke dalam cafe di Semarang, menjadi pembicaraan warganet Sabtu (13/6/2020).Â
Tak pelak, unggahan video itu pun viral di media sosial Twitter dan Instagram. Unggahan video tersebutpun disukai ribuan kali, dibagikan ribuan kali, ditonton oleh puluhan ribu orang.
Bahkan komentar dalam twit pun unik. "Pit brompton larang?salah."
"Pit sg paling larang ki pitutur sing apik lan kelakuan sg becik."