Lalu ketidakjelasan eksistensi Dewan Jaminan Sosial Nasional dalam merumuskan kebijakan umum dan sinkronisasi penyelenggaraan Sistem Jaminan Sosial Nasional, karena hingga saat ini pun boleh jadi masyarakat belum mengetahui institusi apa itu.Â
Berikutnya adanya kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS. Serta mandulnya Satuan Pengawas Internal BPJS dalam melaksanakan pengawasan, sehingga menimbulkan kesan adanya pembiaran terhadap kecurangan-kecurangan yang terjadi.Â
Sebab itu, MA menyebut, dibutuhkan kesadaran bersama berupa kehendak politik (political will) dari Presiden beserta jajarannya selaku pemegang kekuasaan pemerintahan dan niat baik (good will) dari masyarakat dan penyelenggara program jaminan sosial.Â
Yaitu untuk bersama-sama memperbaiki akar persoalan yang ada, membenahi sistem sekaligus meningkatkan kualitas pelayanan program jaminan kesehatan yang sedang berjalan, agar tujuan untuk memberikan kepastian perlindungan dan kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 28H ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) dan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) UUD 1945 dapat terwujud.Â
Atas semua kisah dan alasan mendasar MA, hingga Perpres Nomor 75 tahun 2019 dibatalkan, apakah dengan semudah membalik telapak tangan, masalah-masalah yang menjadi sebab kuatnya MA memutuskan pembatalan, langsung sudah diperbaiki oleh Jokowi dan pemerintahannya?Â
Rasanya, dengan terbitnya Perpres Nomor 64 tahun 2020, tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan kembali, Presiden Jokowi memang tidak memandang dan menyepelekan MA sekaligus menyepelekan masyarakat yang menggugat dan memenangkan gugatannya. Inikah pemimpin yang berpihak dan menghargai rakyat dan alat negara?Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H