Salah satu sebab mengapa setelah usia 90 tahun PSSI nir prestasi, sudah saya ulas dalam artikel sebelumnya, yaitu karena kualifikasi pengurus PSSI banyak diisi oleh individu yang tak memenuhi syarat dan kriteria profesional, plus tak memiliki ijazah keorganisasian khusus menyoal manajemen dan tata kelola sepak bola, maka sulit untuk satu arah sesuai visi-misi dan tujuan.Â
Pengurus juga terpilih dari hasil "permainan" voter. Sementara kedudukan voter juga hasil dari produk statuta, yang di rancang dan dibuat oleh "mereka" juga.Â
Sehingga, sampai satu abad usia PSSI pun, akar masalah PSSI akan berputar pada masalah yang sama, kisruh internal menjadi budaya dan mentradisi.Â
Di bawah Ketua Umum baru sekarang, sejatinya, amanah publik sepak bola nasional sedang coba diusung. Meski sangat sulit membersihkan PSSI dari "orang lama" dan "gerbong lama" yang selalu menggunakan statuta sebagai senjata, karena lingkarannya sudah sangat mafia.Â
Namun, publik membaca bahwa Mochamad Iriawan sebagai nakoda baru PSSI, akan berupaya membersihkannya. Siapa pun pengurus yang tak sejalan, tak satu visi-misi dan tujuan serta bekerja tak sesuai tangggungjawab, coba ditertibkan.Â
Akhirnya, Sekjen Ratu Tisha yang juga sudah diketahui publik, suka melancong mengambil tindakan yang bukan wewenangnya, lingsir.Â
Lingsirnya Tisha yang diharapkan menjadi kebangkitan PSSI, ternyata bagi orang lama yang juga masih bercokol di PSSI, dijadikan momentum pula sebagai pintu untuk memperkokoh barisan mereka, dengan menebar asa karena statuta, dengan mencoba memasukkan orang lama ke gerbong mereka lagi yang jelas terbaca berseberangan dengan rencana Ketum.Â
Efeknya, proses pergantian Sekjen baru juga tidak dapat berjalan sesuai rencana meski awalnya sudah mengerucut empat nama yang dianggap memenuhi prasyarat dan kriteria serta point penilaian tertinggi.Â
Padahal ada beberapa kandidat yang sebelumnya terpilih, termasuk juga ada sekitar 46 pelamar secara nasional, meski pemilihan Sekjen baru tak dibuka lowongan.Â
Kondisi ini, tentu akan berbahaya bagi orang lama yang kini masih ada di dalam PSSI. Maka, berbagai cara dan skenario penggagalan pun mereka mainkan. Kemudian mencari kesempatan dan cara untuk kembali menarik orang lama ke dalam tetap dengan elegan, sebab berlindung di balik statuta.Â
Proses pemilihan Sekjen akhirnya menjadi "alot" karena memang itu yang "mereka" inginkan. Berikutnya Ketum PSSI akhirnya dibenturkan dengan Waketum melalui pintu "kisruh nepotisme".Â